Kamis, 13 Desember 2012

Makanan halal dan non halal serta justifikasinya..

Kalau merencanakan menjadi warga internasional, persiapkanlah segudang jawaban mengenai pertanyaan seperti judul tulisan ini. Tidak usah jawaban yang njelimet dan membutuhkan dahi berkerut karena saking beratnya, namun jawaban yang simple-simple saja. Kebanyakan mereka akan bertanya karena memang mereka belum pernah tahu dan mereka juga baru kali ini bersinggungan dengan manusia yang berbeda agama. Jadi jangan merasa diintimidasi atau rasisme, namun mereka memang ingin tahu.
Kalau di Negara kita yang warga negaranya multi agama mungkin akan sangat mudah menjumpai perbedaan-perbedaan dan secara tidak langsung kita akan menjadi toleran dan sudah bisa memahami. Namun bagi mereka yang hidup di Negara yang bukan multi agama, mereka memang benar-benar tidak tahu. Dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, mereka ingin tahu dan tugas kita hanya menjelaskan semampu kita. Tidak usah terbebani hingga menginginkan mereka merubah pandangan, sekedar menjelaskan saja. Aku sudah sering membaca diberbagai buku perjalanan dan pengalaman tinggal di multicultur, seperti bukunya Hanum misalnya. Dibuku tersebut juga disentuh mengenai keingintahuan temen kerja suaminya Hanum mengenai makanan halal dan pertanyaan yang berhubungan dengannya. Dan akupun sudah memperkirakan bahwa nantinya aku akan mendapatkan pertanyaan yang sama.
Namun, ternyata menjelaskan itu tidak mudah. Butuh ketelatenan dan kesabaran. Kadang aku merasa diintimidasi dan diinterogasi, padahal ternyata mereka memang antusias pengen tahu. Dan mereka dengan jujur, “saya benar-benar belum pernah mendapatkan konsep mengenai makanan halal, jadi tolong di jelaskan”…atau seorang colega yang menanyakan “kenapa gak ikutan minum bir? Wine? Kalau gak boleh minum kan boleh mencicipi…” bahkan kadang pertanyaan akan sampai kepada hal-hal yang sifatnya sensitive dan membuat kuping memerah. Namun percayalah, bahwa itu bukan karena mereka ingin memojokkan dan tidak suka dengan kebiasaan kita (muslim) namun karena mereka ingin tahu.
Kalau dosenku mereka menanyakan hingga bagaimana perasaan ketika berhubungan dengan pasien yang lain agama, apa definisi perbuatan yang baik dan dibolehkan dan justifikasi kenapa tidak boleh minum alcohol.
Kadang mereka memang cukup kritis dan aku hanya mencoba menjawab setahuku saja, ya maklum karena aku tidak tahu mengenai hadiz jadinya ya aku jawab dengan bahasaku sendiri. Seperti mengenai halal dan non halal. Bahwa dalam Al-Quran sudah ditulis mengenai hal-hal tersebut, tugas saya hanya mengikuti peraturan yang sudah ada. Hal-hal yang dilarang juga sudah tercantum, dan harus diikuti.
Makanan halal itu dibagi menjadi dua, yaitu cara menyembelihnya dan asal makanannya. Menyembelih harus dengan cara islam, dengan membaca bismillah. Bahasa yang sering aku gunakan adalah “Kill without bismillahh…atau kill with bismillah” dan mereka akan ngangguk-ngangguk tanda mengerti. Hal tersebut menyebabkan daging ayam atau daging sapi menjadi halal atau tidak halal. Satu lagi dari asal makanannya. Makanan yang mengandung babi, unsure-unsur babi serta alcohol juga dilarang karena tidak halal.
Mengenai justifikasi, kadang susah juga menjelaskannya. Karena mereka sukanya mendapatkan jawaban yang rasional. Jawaban yang biasanya aku pake buat menenangkan mereka adalah, kalo alcohol pasti akan menyebabkan mabuk, sedikitpun saya minum pasti akan mabuk karena tidak pernah sama sekali. Trus aku tambahkan saja, mungkin untuk kesehatan kalo di negaraku ada konsep minum air putih 8 gelas per hari, kalo kalian 8 gelas bir per hari ya…dan kamipun tertawa. Menganai babi..aku masih susah menemukan jawaban yang mudah di terima. Aku bilang saja, di Al-Quran dikatakan seperti itu, sambil senyum.
Bahkan kadang perbincangan menjalar kehubungan interpersonal antara perawat dan pasien. Dosenku yang mengatakan dirinya atheis menanyakan, bagaimana perasaan kamu saat bersentukan atau berinteraksi dengan orang yang beda agama. Mungkin bagi mereka yang baru berkenalan dengan orang yang berbeda agama atau kepercayaan akan merasa lain dan banyak pantangan dalam hubungan antar manusia juga. Namun bagiku, yang sudah terbiasa dengan multi cultur dan multi agama dalam kehidupan sehari-hari menjadikan nilai-nilai toleransi dan saling memahami antar sesame sudah terjalin.
Bagi mereka mungkin sebaliknya. Mengenai hubungan dengan pasien aku katakana, aku tidak pernah membawa agama dan kepercayaan dalam hubungan dengan pasien. Saya tidak memandang agama dan kepercayaan mereka, saya hanya memandang bahwa pasien itu adalah individu yang membutuhkan bantuan saya. Mereka punya nilai tersendiri itu urusan mereka, karena pada dasarnya manusia itu unik dan memiliki kepercayaannya mereka sendiri. Dosenkupun mengatakan bahwa dia sangat senang berinteraksi dengan multicultur, dia bisa banyak belajar mengenai toleransi. Dia mengatakan bahwa dengan hubungan interpersonal seperti inilah ternyata sebaik-baiknya pembelajaran hidup.
Satu hal yang aku tarik pelajaran dari peristiwa percakapan mengenai makanan halal, non halal, ataupun perbincangan mengenai perilaku keagamaan membuatku menarik kesimpulan bahwa mereka menjadi seperti ini karena mereka sejak kecil tidak dikenalkan mengenai agama. Mereka sama sekali tidak pernah menerima pembelajaran mengenai pentingnya agama apalagi diskusi mengenai agama. Orang tua dan nenek moyang mereka membawa kebiasaan antipati terhadap agama sehingga kebiasaan-kebiasaan itu menjadi kultur hingga sekarang. Dan bisa dibayangkan mengenai generasi muda-muda saat ini yang banyak menghabiskan waktunya dengan hura-hura, party, tanpa arah dan tujuan yang jelas. Bisa dibayangkan apabila nilai-nilai agama diperkenalkan dan di tanamkan, maka sangat mungkin dan bukan mustahil jika mereka akan beragama dan lebih bisa menghargai hidup dan lebih beradab.
Aku sangat bersyukur sudah dilahirkan di keluarga yang menanamkan nilai-nilai agama sejak saya kecil. Agama Islam yang sangat aku cintai ini mengajarkan mengenai toleransi, lingkungan di Indonesia yang multi agama menjadikanku belajar banyak mengenai perbedaan dan perilaku mereka yang tidak sama namun memberikan nilai-nilai tersendiri.

Jumat, 07 Desember 2012

The Real Master is....

Mengenang pekerjaanku dulu, ternyata baru aku sadari. Disanalah sebenarnya aku menimba ilmu yang sesungguhnya hingga aku mendapatkan program master ini. Bersama merekalah aku banyak belajar dan mendapatkan pengalaman. Sekarang, aku mendalaminya dan memformulasikannya menjadi lebih ilmiah dan terstruktur. Selebihnya, disanalah aku mendapatkan the real master.
Mengenang kembali masa-masa itu, aku jadi teringat mengenai konsep staffing. Seperti disampaikan oleh seorang Prof di sini bahwa staffing atau pengaturan ketenagaan itu harus dilakukan oleh orang yang benar-benar mendalami tugas dan fungsi staff. Selain itu seorang “pengatur staff” juga harus mendalami staff tersebut sampai ke masalah psikologis dan type masing-masing individu.
Individu itu unik, masing-masing memiliki sisi yang laen. Selain itu, setiap staff juga memiliki soft skill tersendiri. Soft skill itu kadang sudah menjadi bawaan dan mengakar menjadi tabit dimasing-masing individu. Pengalamanku sendiri mengatakan bahwa, ketika aku tidak berada di “habitatku” aku tidak bisa berkreatifitas dan tidak bisa memberikan yang terbaik. Itu konsepku dulu.
Habitat di RS bagi perawat ya dibagi menjadi banyak unit, ada unit gawat darurat, unit intensive care, dan unit-unit yang laen. Personal opinion, namun berdasarkan pengalaman pribadi dan beberapa teman menunjukkan bahwa ketika seorang staff ditempatkan di unit yang bukan menjadi “habitat” aslinya, seseorang tersebut pasti akan mengalami masalah. Baik susah menyesuaikan diri maupun masalah yang laen. Hal ini tentunya akan berdampak pada performa dan outcome pelayanan.
Sebagai perawat ternyata memang mebutuhkan keikhlasan tersendiri, walaupun perawat yang merupakan point penting dari pelayanan kesehatan ini seringkali berada dalam jajaran yang terpinggirkan. Namun demikian, keikhlasan seorang perawat dalam memberikan pelayanan adalah keikhlasan murni sebagai manusia yang diciptakan untuk membantu dan saling melayani. Ketika tengah malam, dingin menusuk tulang, perawat dengan jiwa ikhlasnya mendengarkan keluhan pasien, menemani pasien yang merasa kesepian ditinggal keluarganya tidur, memberikan sentuhan terhangatnya, dan dengan hati lapangnya memberikan kekuatan bagi pasien yang kehilangan harapan. Semua perawat lakukan.
Disana pulalah aku mengenal konsep skill mix, dimana konsep skill mix ternyata sudah kami kenal dan kendalikan sedemikian rupa sehingga pelayanan tetap bisa dijalankan sesuai dengan semestinya. Skill mix yang kami punya sangat beragam, level pendidikan, level sertifikasi, bahkan kami punya dari zero to hero. Semua ada. Namun demikian, tanpa kami sadari, konsep skill mix tersebut sudah kami lewati tanpa adanya celah. Kami sangat menikmati, walau terkadang sangat kami rasakan kelelahan dan rasa capek. Namun kebersamaan ternyata melebihi segalanya.
Selain itu, kami juga belajar mengenai nursing care delivery system, walaupun aku baru mengenal istilah tersebut sekarang, setelah studi literature secara sistematis, namun ternyata kami disana sudah melakukannya dengan baik. Kami mempertimbangkan skill mix, kebutuhan pasien, level pasien, ratio perawat dan pasien serta lingkungan kerja yang penuh dengan disiplin ilmu. Kami sebagai perawat selalu menetralkan diri, selalu mengedepankan kepentingan pasien bahkan diatas kepentingan kami sendiri.
Disana pulalah aku mengenal adanya nursing relationship dan health working environments. Semua istilah2 dan model2 yang aku pelajari ternyata secara tidak langsung sudah aku dapatkan disana. Bersama mereka, teman2 terbaikku. Teman-teman yang selalu mendukung satu-sama lain, bersama dalam team work, bersama memberikan yang terbaik bagi pasien.
Atau bahkan teori mengenai transport pasien intra dan inter hospital yang disampaikan oleh seorang master dari RS setempat. Dengan semangatnya beliau menyampaikan guidelines transport pasien, hal2 yang harus di perhatikan, alat2 yang perlu disiapkan. Bahkan hal semacam itu baru aku denger ternyata ada teorinya, karena aku dah melakukannya berpuluh kali dan semua berjalan dengan baik. Karena kami belajar dari pengalaman dan mempersiapkan semuanya dengan seksama. Seperti kebutuhan oksigen, kebutuhan obat-obatan emergency, kebutuhan peralatan intubasi. Semua yang disampaikan, walau baru denger kalau ada guidelines-nya tapi semua sudah kami lakukan.
Kawan, bersama kalianlah sebenar-benarnya proses master ini dijalani, bersama kalianlah aku mendapatkan apa yang aku inginkan selama ini. The real master is by doing……miss you all as always..
Selamat buat temen2 perawat Indonesia, you are the real master….

Selasa, 04 Desember 2012

Konggress III dan Lingkar Diskusi PPI Portugal 2012

Pada sabtu 1 Desember 2012 kemarin, tepatnya di Rua De Poca Distric of Braga, Portugal, PPI Portugal mengadakan konggress yang ke tiga, konggress yang berjalan cukup sukses dengan terpilihnya Denny Syamsuddin, mahasiswa program pasca sarjana University de Coimbra, menjadi ketua periode 2012/2013 kedepan.
“Perjuangan Belum Usai…” Begitulah uangkapan ketua terpilih Perhimpunan Pelajar Indonesia Portugal (PPI Portugal), Denny Syamsuddin, ketika di hubungi melalui account facebooknya, sesaat setelah dirinya diberikan amanah untuk menahkodai perjalanan kapal PPI Portugal ini.
Konggress ke-tiga PPI Portugal kali ini juga dibarengi dengan lingkar diskusi kepemudaan yang mengusung tema “Revitalisasi Pemuda Demi Membangun Indonesia Raya” menghadirkan pembicara dari berbagai lintas generasi. Sebut saja Prof. Dr. Wahyu Widodo, seorang professor dari Universitas Muhammadiyah Malang, yang merupakan narasumber dari generasi 60-an; A.R. Boyie Berawi, Koordinator PPI Eropa dan Amerika, PhD Student University of Porto, serta Denny Syamsuddin, praktisi/staff BUMN, Master student University de Coimbra, yang mewakili generasi masa kini.
Lingkar diskusi yang dihadiri oleh seluruh anggota PPI Portugal ini, berlangsung cukup menarik dan seluruh peserta terlihat active ambil bagian dalam setiap diskusi. Pemaparan materi oleh Prof. Wahyu yang membangkitkan kenangan masa lalu, belajar mengenai sejarah peran kepemudaan, serta peran pemuda di masa lalu, memberikan banyak gambaran mengenai spirit pemuda pada saat itu. Pemuda yang tangguh dan berjiwa pejuang ternyata menjadikan Indonesia sampai pada puncak kejayaan dan berhasil merdeka serta di akui dunia akan keberadaannya. Selain itu, Prof. Wahyu juga menyampaikan analisanya mengenai kondisi masa lalu dan masa kini, mengenai system kaderisasi yang belum dilakukan dengan baik, bahkan tidak ada lembaga khusus yang konsentrasi mengurusi masalah pengkaderan ini. Padahal menurut Wahyu, dengan system pengkaderan yang comprehensive dan holistic, akan menjadikan generasi penerus pemimpin Indonesia memiliki kesiapan mental dan spirit yang tidak diragukan lagi.
Masih menurut Wahyu, pemuda sangat di tuntut akan perannya untuk perubahan kedepan. Pemuda harus ikut berperan dalam melakukan perubahan system yang ada selama ini. Karena sitem yang ada saat ini merupakan system yang sudah cukup tua dan bahkan dapat dikatakan sudah kedaluwarsa. Menurutnya, ada dua jalan yang bisa dilakukan, peran formal dengan berkontribusi di pemerintahan sehingga bisa merombaknya dari dalam, maupun peran non-formal dari luar pemerintahan, seperti menyuarakan pendapat, melakukan kajian-kajian kepemudaan, dan yang lain.
Tidak adanya generasi penerus kepemimpinan muda, dilihat Denny sebagai kondisi yang disebabkan oleh karena feodalisme dan proses yang berlangsung lama mengenai kultur yang superior diantara generasi pendahulu. Maka dari itu yang harusnya disiapkan oleh negara Indonesia untuk mempersiapkan generasi-generasi penerus kepemimpinan di Indonesia kedepan adalah: diperlukannya pemuda yang nasionalis, amanah dan mampu menjaga idealism.
Nasionalis dinilai oleh Denny sebagai syarat mutlak kader muda penerus perjuangan, masalah yang ada saat ini dilihat Denny sebagai kondisi yang pemudanya sudah luntur akan rasa nasionalismenya, semangat berjuang sudah kendor karena pemuda lebih puas dengan kemudahan-kemudahan yang didapatkan (dimanjakan). Kemudahan yang didapatkan ini menurut Denny menjadikan pemuda kurang kompetitif dan enggan bersaing dan melakukan gebrakan-gebrakan perubahan.
Selain itu, pemuda yang mampu menjaga amanah dan idealism dinilai Denny sebagai pemuda yang memiliki kesiapan mental dan psikis untuk mengemban tanggung jawab perubahan dan kemajuan.
Secara normative, pemuda dilihat Denny, memiliki modal yang cukup kuat, yaitu pemuda itu pemberani dan terdepan, serta bersikap kritis. Modal inilah yang merupakan variable penting untuk menjaga kesiapan diri menjadi generasi pendobrak perjuangan. “Melanjutkan cita-cita para pejuang” nasionalis tidak mudah dibeli dengan uang. Walau demikian, menjaga idealism memang cukup membutuhkan spirit dan semangat yang tidak mudah. Selain itu, mahasiswa Erasmus Mundus SOSCOS dari Univeristy de Coimbra ini juga menyampaikan bahwa pemuda itu karakternya cepat puas, terlebih saat sudah menempati posisi tinggi dan kenyamanan.
Kelebihan dan kekurangan ini disampaikan oleh mahasiswa pasca sarjana Universitas de Coimbra ini sebagai bentuk analisanya mengenai kepemudaan dimasa kini. Hal tersebut diamini oleh B. Berawi yang menyampaikan bahwa “lawan” yang real jaman dahulu yaitu penjajah, kalau sekarang yang harus dilawan adalah hal abstrak seperti kemiskinan, pengangguran, korupsi dan lain sebagainya. Maka dari itu mahasiswa program doctoral degree ini menyampaikan kesimpulannya bahwa pemuda harus Cinta tanah air, memiliki jiwa nasionalisme dan cinta produk tanah air, serta terus berkontribusi dilingkugan dimana dia berada. Demi kemaslahatan bersama dan demi keberlangsungan perjuangan yang tidak akan pernah berhenti.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa sebagai mahasiswa baik didalam dan diluar negeri, belajar dengan baik adalah salah satu bentuk real menyumbang kemajuan Indonesia. Dengan belajar yang baik, maka dikemudian hari dipastikan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan sumber daya bagi kemajuan bangsa. Namun, selain hal tersebut, satu hal yang tidak kalah penting, penulis ingin mengatakan bahwa pemuda haruslah sehat, baik sehat fisik maupun sehat psikis. Sehat psikis termasuk didalamnya adalah kesiapan mental dan spiritual menghadapi dunia, tempaan-tempaan hidup menjadikan pemuda lebih menguasai “medan perang” dan tempaan spiritual menjadikan pemuda lebih siap akan ujian hedonism.
Selamat berjuang dan terus berkarya pemuda Indonesia.

Senin, 03 Desember 2012

Beasiswa dan Sistem Perbank-kan di LN (Portugal)

Mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan pendidikan ternyata membutuhkan modal juga. Dulu aku pikir semua akan di tanggung oleh si pemberi beasiswa, ternyata perkiraanku salah. Namun sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Hanya butuh proses saja untuk mendapatkannya. Sehingga akupun mengeluarkan modal untuk tiket perjalanan hingga mencapai universitas tempat aku belajar dan biaya satu bulan pertama hingga beasiswa diberikan. Sebenarnya pihak pemberi beasiswa memiliki budget untuk biaya perjalanan, hingga pengurusan visa dan yang lain. Masalahnya budget tersebut akan diberikan setelah mahasiswa sudah ditempat tujuan. Jadi mau tidak mau ya aku keluar modal juga. Ini yang aku katakana, tidak sepenuhnya salah.
Satu bulan pertama itulah setiap mahasiswa dengan biaya hidup dari kantong masing-masing diharuskan membuka rekening bank di negara setempat. Prosesnya memberikan pengalaman yang banyak mengenai perbank-an di luar negeri terkait proses pengajuan pembukaan rekening hingga proses beasiswa yang tidak kunjung turun juga.
Satu minggu pertama aku gunakan untuk mengumpulkan document-dokument yang dibutuhkan untuk membuka rekening. Ternyata baru aku sadari, kalau membuka rekening bank sebagai warna internasional itu tidaklah mudah. Karena banyak syarat yang harus dipenuhi. Bahkan ada beberapa bank pemerintah rekomendasi dari sekolah yang sepertinya “ogah-ogah-an” mengurusi masalah ini dan mereka seakan-akan mempersulit proses pembukaan rekening kami.
Syarat-syarat yang diperlukan termasuk didalamnya adalah keterangan dari sekolah tempat kita belajar, passport, keterangan tempat tinggal dan tax number (kalo di Indonesia NPWP). Dan kenyataan yang aku alami, untuk mendapatkan semua document inipun bukanlah hal yang mudah. Karena harus menunggu dan walaupun tax number (katanya hanya formalitas karena bukan warga negara), beberapa teman mengalami kesulitan untuk mendapatkannya.
Pengajuan di bank pemerintah yang seakan males mengurusi karena mungkin kurang menguntungkan bagi mereka, membuat kami berpindah ke bank swasta. Ada beberapa bank swasta di Portugal yang kami lihat. Ada Millenium Bank, Banco Espirito Santo (BES), dan Sandanter Totte. Karena yang paling dekat dengan asrama adalah BES akhirnya akupun memutuskan untuk membuka rekening dibank tersebut.
Prosesnya ternyata tidak seberapa rumit yang kami bayangkan, karena mereka membantu dalam pembuatan tax number, bahkan dengan document kami yang sudah lengkap mereka akan membuatkan account dalam satu hari. Bayangan akan dipersulit seperti di bank pemerintah itu lenyaplah sudah. Dan kamipun berhasil mendapatkan bank account dan langsung kami kirim ke coordinator konsorsium pemberi beasiswa, berharap uang beasiswa segera turun.
Ternyata tidak semudah yang dibayangkan, beasiswa yang kami harapkan ternyata mengalami kendala. Entah apa yang jadi masalah, namun beasiswa baru keluar setelah berkali-kali kami bergantian mengirimkan email ke sekretaris konsorsium bahwa kami sangat membutuhkan beasiswa tersebut untuk membayar asrama dan bertahan hidup (yang sebenarnya emailnya kadang kami lebih-lebihkan untuk mendapatkan perhatian mereka). Dan Alhamdulillah, setelah hampir 1,5 bulan, beasiswa itupun turun. Jumlahnya cukup lumayan karena mereka memang memberikan budget untuk biaya perjalanan, pengurusan visa, biaya mobilisasi dan yang lainnya.
Dari pengalaman singkat mengenai pembukaan rekening dan masalah beasiswa tersebut diatas, kemudian saya bisa menarik pelajaran khususnya banyak hal terkait system perbank-an di LN. secara tidak langsung saya bisa mengatakan bahwa ada banyak hal-hal baru yang aku temui disini, dimaa di Indonesia menurutku akan sangat bagus jika system perbank-annya memiliki hal yang sama.
Satu hal pertama yang aku nilai sangat bagus dari Banco Espirito Santo (BES) adalah mengenai system kartu ATM. Kita di Indonesia sudah tidak asing lagi dengan kartu ini. Satu hal yang saya anggap penting adalah, bahwa BES memberikan ATM tersebut pada hari pembukaan, dan dua ATM lagi yang akan di kirim dikemudian hari. ATM yang dikirim dikemudian hari salah satunya berfungsi ganda (sebagai kartu debit dan sebagai kartu kredit) dan satunya lagi hanya sebagai kartu kredit. Jadi sekarang saya memiliki 3 kartu ATM yang berfungsi semuanya dengan satu PIN code dan sekaligus kartu kredit. Keuntungan dari hal ini adalah misalnya suatu saat terjadi kehilangan kartu ATM, si empunya tidak terlalu khawatir karena masih memiliki kartu cadangan, tinggal ganti PIN code saja, maka ATM yang hilang sudah terblokir dengan sendirinya. Dan tinggal telp ke customer services dan dia akan mengirimkan gantinya. Kalau di Indonesia, kehilangan ATM menjadikan si empunya harus telp call center untuk memblokir ATM, setelah itu harus datang ke kantor bank untuk mendapatkan ATM yang baru. Menurutku hal ini cukup effective dan membantu sekali. Untuk mencegah kemungkinan orang lupa kartu ATM-nya, jaringan mesin ATM di sini memberlakukan system dimana ketika mengambil uang atau transaksi apapun di mesin ATM, maka ketika transaksi sudah berakhir, yang akan dikeluarkan lebuh dulu oleh si mesin adalah kartu ATM, diikuti oleh uang dan terakhir adalah slip transaksi. Beda dengan beberapa kali pengalaman di Indonesia ketika yang keluar lebih dulu uangnya, maka aku ambil uangnya kemudian buru2 pergi, padahal atm masih ada di dalam mesin atm. Selain itu, mengenai kartu kredit, aku sangat terbantu dengannya karena memudahkanku untuk booking penerbangan domistik maupun internasional ketika aku ingin jalan-jalan keliling eropa.
Selain hal tersebut, ada pengalaman yang membuatku cukup puas dengan BES adalah, ketika waktu itu aku kesulitan mengenai operasional internet banking (karena dalam bahasa portugis) sedangkan aku ingin mencoba internasional transfer. Akupun memutuskan untuk telp call center, namun ditengah pembicaraan ternyata telponku habis pulsa. Alangkah senangnya diriku karena si call center telp balik dan dengan sabar menjelaskan kepadaku bagaimana langkah-langkah yang harus aku ikuti. Sungguh menyenangkan. Terlepas dari BES adalah bank swasta dan populasi di Portugal yang tidak banyak menyebabkan mereka harus memberikan pelayanan yang terbaik bagi konsumennya. Namun hal ini sangat bagus jika di ikuti oleh semua bank di Indonesia.
Mengenai beasiswa, pelajaran yang saya dapatkan adalah. Bahwa memang betul butuh modal yang ternyata tidak sedikit, karena beberapa teman ada yang hanya membawa seikit simpanan dan mengaharap beasiswa turun dengan segera. Namun ternyata kenyataan berbicara lain, hingga seorang teman ini harus mengirit dan meminjam beberapa teman. Satu hal lagi, setelah mendapatkan beasiswa gunakanlah beasiswa tersebut dengan bijaksana. Karena terkadang, untuk bulan-bulan selanjutnyapun masih juga ada keterlambatan pemberian beasiswa dari konsorsium.
Selamat mencoba applikasi beasiswa ya friends. Jangan pernah putus asa untuk mencoba, insyaAlloh ada pemberi beasiswa yang menunggu anda…hanya waktu yang akan menjawabnya.

Kamis, 29 November 2012

Pemuda Yang Sehat

Kalo banyak yang mengatakan bahwa pemuda adalah penggerak keberlanjutan dan kelangsungan pemerintah Indonesia kedepan. Aku sangat setuju sekali. Karena di pundak pemudalah dibebankan setumpuk permasalahan negeri yang tak dipungkiri layaknya seperti benang kusut.
Seorang teman dari Indonesia yang sedang melakukan penelitian post doctoral di Portugal mengatakan bahwa, pengkaderan seorang pemuda harus dilakukan secara bersama, sinergis dan tertata sejak di kampus. System recruitment dan penggeblengan melalui wadah-wadah organisasi intra maupun ekstra kampus hingga wadah pengkaderan pasca kampus yang harus menjadi tanggung jawab bersama.
Menurutku hal itu akan sangat wow dan membahana sekali ketika bisa wujudkan dengann nyata dan dilakukan dengan sepenuh hati dan di jiwai kebersamaan untuk memajukan Indonesia. Tidak kemudian banyak kepentingan baik politik maupun kepentingan pencitraan yang akhirnya hanya akan mencemari niat dan tujuan awal.
Satu hal yang aku pikir menjadi variable yang kuat adalah mengenai pemuda yang sehat. WHO sudah mengatakan sejak lama bahwa Sehat ternyata bukan hanya fisik, namun juga menyentuk psikis karena ternyata sehat itu harus menyentuh biso,psiko, social, cultural, dan spiritual. Secara comprehensive dan holistic terprogram dan bersatu padu tak bisa dipisahkan satu sama lainnya.
Sehat secara fisik sudah jelas kita ketahui, karena bisa kita lihat dan kita rasakan. Pemuda yang sehat secara fisik akan memiliki performa dan penampilan yang luar biasa. Namun sehat secara psikis itulah yang ternyata tidak kalah penting dan sangat mendukung performa pemuda ini. BJ. Habibie jauh-jauh hari ketika merumuskan visi dan misi Organisasi Cendekiawan Muslim Indonesia mengatakan bahwa organisasi ini akan menjadi tonggak kemajuan bangsa Indonesia, karena disinilah pemuda memiliki kemajuan di bidang iptek sekaligus imtaq.
Namun benarkan hingga sekarang visi dan misi tersebut ada pada setiap pemuda yang direncakan akan membangun bangsa Indonesia kedepan? Benarkan pemuda-pemuda ini memiliki kesehatan psikis yang baik?
Kesehatan psikis tidaklah selalu berfokus pada mental disorder maupun mental retardation atau bahkan psychiatric problem. Namun lebih dikhususkan disini adalah kebersihan hati, kesiapan mental capacity, kemurnian dan kelurusan niat, serta keberanian untuk maju.
Kebersihan hati dan kelurusan niat merupakan tonggak awal semua perjalanan akan dimulai, ketika semua diawali dengan langkah yang baik, maka dikemudian hari hasil dan pengaruhnyapun akan baik. Namun ketika semua diawali dengan niat yang tersembunyi, niat kepentingan pribadi dan duniawi maka hasil akhirnyapun pasti bertolak belakang.
Kebersihan hati ternyata sangat tampak pada perilaku sehari-hari. Banyak pemuda yang memiliki mental capacity dan kompetensi yang sangat bagus untuk dikembangkan bagi kemajuan Indonesia, namun hanya karena hati yang ternodai kepentingan duniawi hingga menjadikan langkah dan kebijakannya tidak disertai kemurniat niat dan kelurusan diri. Mari pemuda, kita mulai dari niatan dan membersihkan langkah dan perilaku kita.
Niatkanlah untuk kehidupan yang kekal nantinya. Bawalah bersama tanggung jawab ini menjadi keberkahan kita nanti dikehidupan selanjutnya. Kehidupan dunia hanya sesaat, kepentingan dunia hanya muslihat, yang kekal dan abadi hanya bersamaNya.. Sehatkan pemuda kita..

Selasa, 27 November 2012

Arti Keluarga

Membahas mengenai patient and family centered care hari ini membuatku lebih banyak mengetahui seberapa berartinya keluarga bagi pasien. Bagaimana keluarga akan memberikan support dan spirit bagi pasien, dan bagaimana seorang perawat harus memberikan space bagi keluarga untuk bersama pasien.
Keluarga memiliki arti yang sangat signifikan dalam setiap hidup seseorang, keluarga sebagai tempat kita lahir dan bertumbuh, keluarga sebagai tempat kita mengadu tangis dan tawa serta berbagi kebahagiaan dan bahkan keluarga sebagai tempat kita bertengkar dan mengadu masalah. Begitulah, keluarga sangat penting dalam sejarah hidup manusia.
Setiap individu ternyata memiliki definisnya sendiri mengenai seberapa berartinya sebuah keluarga. Setiap individu memiliki nilai dan bagaimana dia memandang sebuah keluarga. Dengan mengetahui nilai dan definisi keluarga untuk setiap individu atau pasien, perawat akan mampu meletakkan dimana posisinya berada dan siapa yang sanggup memberikan benar-benar spirit yang bermanfaat.
Prof mengatakan bahwa seandainya dunia ini sempurna, maka keluarga akan terdiri dari orang tua dan anak-anaknya. Itulah anggota keluarga yang sebenarnya dan sempurnanya dunia. Namun dunia ini dikatakan tidaklah selamanya sempurna, banyak hal yang tidak sesuai. Sejarah mengatakan bahwa keluarga tidak selalu berisi orang tua dan anak-anaknya. Banyak tipe keluarga keluarga yang eksis didunia ini. Ada keluarga murni, keluarga single parent, keluarga sejenis, dan bahkan keluarga dengan anjingnya.
Prof ini membawaku mengaruhi keluarganya sebagai contoh, beliau memiliki seorang kakak dan adik, dan seekor anjing yang mereka anggap sebagai saudara perempuan. Mungkin disini (eropa) sudah bukan hal yang aneh ketika mereka mengganggap bahwa anjing juga dianggap anggota keluarga. Bahkan temenku pernah cerita, ada beberapa orang yang sampai memberikan warisannya pada anjing.
Selama disini sudah sering aku melihat orang jalan-jalan dengan anjingnya, mereka bercengkerama bagaikan dengan anak-anaknya. Atau seorang laki-laki berjalan mendorong bayinya. Suatu yang kadang belum bisa di terima akal pikiran dan nilai social di Indonesia. Namun di sini sudah menjadi hal yang biasa.
Kembali mengenai masalah dukungan keluarga pada pasien yang sakit ICU, perawat sebaiknya melakukan pengkajian lebih dalam kepada pasien, siapa yang paling dianggapnya orang yang lebih bernilai dan penting dalam anggota keluarganya. Orang inilah yang paling memberikan pengaruh dan akan diberikan kesempatan untuk lebih lama menemani si pasien di RS. Dengan melakukan pengkajian ini, maka bisa dihindari adanya ketidak jelasan anggota keluarga khususnya yang memiliki hubungan dekat dan sangat berarti bagi pasien.

Sabtu, 24 November 2012

Sapalah aku..

Perasaan sendiri dan terasingkan (menjadi makhluk asing?) kadang dirasakan ketika berada jauh, beda jarak dan waktu. Ketika disaat temen deket tertidur lelap, disaat itu pula aku harus bangun, atau bahkan sebaliknya, disaat mereka sedang seriusnya mengajak ngobrol, disaat itu pula aku harus tidur karena waktu sudah menunjukkan tengah malam. Ketidak samaan waktu dan tempat inilah yang kadang menjadikan orang yang tinggal di LN berasa sendiri, berasa sepi dan sedih.
Pernah aku merasakan aku begitu sendiri, tidak ada lagi teman jalan, teman ngegosip, dan mencoba kirim berkali-kali sms atau blackberry messenger tapi gak ada yang balas. Saat itu yang dapat aku lakukan hanya online facebook atau membaca berita-berita dari tanah air. Online facebookpun ternyata teman-teman dekat tidak ada yang online. Ugh….sepinya dunia ini kurasakan.
Namun, beberapa saat kemudian ada blackberry messenger masuk. Jam 7 sore waktu portugal, mungkin di Indonesia sudah jam 1 dini hari. Seorang teman menanyakan kabar dan perkuliahanku. Subhanalloh…rasanya seneng banget walaupun setelah kucoba balas seorang temen ini tidak juga membalas mungkin dia melanjutkan tidur atau jaringan blackberry yang kurang baik. Namun yang jelas dia telah mebuatku merasa, kalau aku ini masih diingat olehnya. Terimakasih kawan…
Begitulah, hal kecil yang kadang lupa dilakukan atau enggan dilakukan. Namun ternyata memiliki effect yang positive bagi seseorang yang sedang mengharapkannya. Seperti aku, yang ternyata merasakan begitu hangatnya kehidupan ini jika ada seorang teman yang selalu dapat dijadikan tempat ngobrol, tempat saling ejek (contoh yang buruk…. ) atau hanya say hello dan tanya kabar. Itu sudah membuatku cukup merasakan kebersamaan dan saling memiliki.
Kadang kala memang sebuah pesan akan lama dibalas karena signal yang kurang bagus atau karena keterbatasan waktu pekerjaan dan tugas diantara dua pihak. Namun hanya dengan mengirimkan pesan tanpa mengharap balasan, kadang memberikan effect yang positive bagi si penerimanya. Sebatas menanyakan kabar, menanyakan kesehatan atau memberikan support, semangat dan motivasi atau bahkan sekedar menggoda ternyata memberikan sebuah pengakuan akan kebersamaan.
Aku bersyukur memiliki beberapa teman yang intents berkomunikasi, berdiskusi dan membahas sesuatu atau bahkan hanya sekedar saling ejek mengejek. Teman bagiku akan menambah semangat. Terimakasih teman..kau selalu ada untukku..mari kita teruskan silaturahmi, walau jarak dan waktu memisahkan kita.
Sapalah temanmu, walau jarak memisahkan kalian..

Selasa, 20 November 2012

Traveling Addictive 3 – Church dan bangunan Tua

Menjadi traveler tuch menjadi impianku sejak dulu, apalagi setelah “virus” Trinity menjangkitiku. Ketiga episode buku Trinity sudah aku lahap, buku-buku traveling yang lain juga sudah aku selesaikan, terakhir adalah Oktober 2010 aku menyelesaikan buku “99 Cahaya di Langit Eropa”. Buku yang mengenai perjalanan Hanum di benua biru ini membuatku ingin mengikuti jejaknya. Karena buku Hanum tidak hanya memberikan cerita perjalanan biasa namun memberikan lebih dari inspirasi dan mencari nilai-nilai islami disetiap perjalanannya.
Perjalanan memiliki nilai tersendiri bagi penikmatnya, sebuah perjalanan akan memberikan lukisan dan gambaran tersendiri bagi siapa saja yang melakukannya. Karena tiap individu memiliki point of view masing-masing dan memiliki caranya sendiri-sendiri menilai sesuatu.
Perjalananku dimulai ketika pertama menginjakkan kaki di benua biru, tepatnya sebuat Negara paling utara, Negara Portugal dibulan Agustus akhir. Pada saat itu, cuaca begitu cerah hingga panas. Bahkan lebih panas dari Jakarta. Namun udaranya tidak sepengap Jakarta, karena angin selalu bertiup sepoi-sepoi dan segar. Namun demikian, ketika berjalan lama dibawah matahari akan membuat kulit terbakar juga karena panas. Hari-hari pertama kumulai menjajaki sebuah kota di Portugal, yang pertama aku lihat adalah banyaknya bangunan tua di mana-mana, kotanyapun jadi kota tua. Kalau membayangkan jadi ingat semarang bawah di bagian dekat stasiun tawang, semua bangunannya seperti itu. Jalanannyapun sama, ditata rapi batu-batu kecil berjajar dan bersih.
Bangunan tua menghisasi semua sudut kota namun banyak juga ditemui gereja dimana-mana. Gereja hampir setiap blok ada, bahkan ada gereja besar-besar yang berdampingan. Baru hari pertama jalan-jalan aku sangat takjub melihat megahnya dan besarnya bangunan gereja tua ini. Besar dan angkuh kulihat. Dengan dindingnya yang dingin, lantainya yang dingin dan suasanyanya yang sunyi senyap berasa semakin dingin dan mencekam. Baru di eropa (Portugal) ini aku merasakan masuk ke gereja, karena penasaran juga apa sich isi bangunan segede itu. Ternyata didalamnya banyak lukisan dan patung-patung. Entah apa maksudnya, namun aku foto-foto saja.
Begitu seringnya jalan-jalan dan yang dilihat adalah gereja tua, semakin lama-semakin bisa mengenali gaya gerejanya kok seperti bangunan masjid? Pertama melihat lengkungan setengah lingkaran dinding gereja, langsung bisa merasakan sepertinya ada yang aneh. Banyak gereja yang atapnya mirip seperti kubah, dinding gereja dan tiang-tiang penyangganya yang sangat menyerupai masjid membuatku iseng melakukan sebuah eksperimen.
Dengan bantuan gadget aku coba mengecek arak mata angin (kompas) yang bisa menunjukkan dimana letak kakbah. Alangkah terkejutnya ketika kenyataan yang aku dapatkan adalah arak kiblat sesuai dengan arah gereja ini berdiri. Disana sangat tampak sekali bentuk mighrab berdiri kukuh dengan tiang-tiang penyangganya yang melengkung-melengkung khas masjid. Namun ini baru gereja pertama, mungkin hanya kebetulan saja pikirku.
Perjalanan yang kulakukan ke Faro memberikanku sebuah petunjuk lain mengenai arah mata angin. Faro berada di dekat semenanjung Iberia, yang semua tahu bahwa melalui semenanjung inilah dahulu Islam memasuki benua Eropa. Dan ketika kami city tour di Faro, kami berkunjung ke kota tua dan menemukan dinding-dinding bangunan yang sangat khas timur tengah, melengkung setengah lingkaran (seperti tapal kuda) hanya sayangnya diatas atap sudah berdiri simbul sebuah agama lain.
Bangunan ini sekarang menjadi sebuah gereja di Faro, bangunan yang sudah ditambahkan berbagai ornament khas sebuah agama non islam ini sebenarnya masih dijaga keasliannya. Jadi bagi umat muslim, hal ini sangat mudah dikenali bahwa dahulunya bangunan ini adalah masjid. Iseng aku keluarkan gadgetku lagi dan aku cek arah kiblat. Dan hatiku bergetar ketika arah kibat benar-benar menunjuk kea rah mighrab yang sekarang sudah penuh berisi patung dan lilin.
Aku sentuh tiang penyangga yang berdiri tegap, kupandangkan mataku kelangit-langit bangunan ini, lengkungan itu, dan empat tiang penyangga khas bangunan masjid. Menara tempat panggilan adzan dan bangunan support pelataran masjid yang dipenuhi dengan pohon-pohon jeruk.
Mungkin yang sangat kita kenal dan kita ketahui selama ini adalah kondisi masjid di Ahambra yang sudah beralih fungsi menjadi gereja cathedral. Namun kemungkinan hampir seluruh masjid yang dahulunya dibangun di semenanjung Iberia, negeri handalusia, sudah diubah fungsi menjadi gereja. Mereka menambahkan ornament dan berbagai sentuhan lain. Namun buatku, hal itu tidak menghilangkan cirri khas sebuah masjid. Entahlah…mungkin hal ini bisa jadi salah, namun demikian kenyataan yang aku lihat berkata lain membuatku semakin ingin mendapatkan hal-hal lain yang membuatku semakin percaya bahwa dahulunya Islam pernah memberikan cahanya di benua ini.
Andai saja hal itu masih berlanjut hingga sekarang, mungkin aku akan dengan mudah menemukan masjid di Portugal ini, aku akan mendengar seruan adzan setiap kali waktu sholat. Dimana-mana, akan aku lihat anak-anak kecil berlalian membawa peralatan sholat dan menghapal alquran.
Namun kenyataan sekarang adalah. Bangunan-bangunan yang sudah diubah fungsinya itu berdiri angkuh menjadi tempat yang tak terpakai, hanya menyisakan keusangan dan kegersangan saja. Tidak ada yang menggunakan. Hanya sebatas petugas resepsionis yang akan dengan senang hat menjelaskan kepada turis-turis yang datang dan mereka mengangguk-anguk menerima penjelasan yang entah itbenar atau sengaja ditutup-tutupi. Entahlah…sejarah telah dirubah atau memang sudah berubah, hanya waktu yang tahu. Dan kenyataan sekarang adalah, bukannya anak-anak mengkaji dan menghapal alquran. Lebih-lebih pergi ke tempat ibadah mereka. Namun yang ada adalah, mereka berkumpul setiap malamnya disebuah bar, tertawa dan berjoget mengikuti alunan music yang diputar kencang-kencang. Tidak hanya anak-anaknya, bahkan orang tua dan yang lanjut usia. Mereka lebih mendewakan tempat-tempat itu dari pada mengisi hari-hari mereka dengan sesuatu yang lebih penting.
Kenyataan yang lain adalah, hanya sebuah basemant atau lantai paling bawah dari sebuah apartemen yang digunakan sebagai masjid. Namun Alhamdulillah, dan insyaAlloh ini tidak akan mengurangi kekhusukan kami, umat muslim, menjalankan ibadah di benua biru ini. Ya Alloh…hanya Engkaulah yang tahu, Sang pembolak-balik hati..dan sang penentu sesuatu. Semoga suatu hari, mereka tahu yang sebenarnya telah mereka lakukan.

Minggu, 11 November 2012

Tinggal di Asrama

Tinggal bersama disebuah komunitas multikultur dalam sebuah residence kampus merupakan sebuah kebanggaan tersendiri dan sebuah kelebihan dibandingkan dengan tinggal di apartemen atau menyewa rumah dengan komunitas yang homogeny atau bahkan komunitas individualism.
Pertama yang kubayangkan ketika dikatakan oleh sekretaris konsorsium bahwa nantinya aku akan mendapatkan tempat tinggal sebuah asrama. Bayanganku langsung melayang ke pengalaman tinggal di asrama waktu SMA dulu. Asrama yang satu ruangan besar dengan isi 8 – 10 orang, dengan tempat tidur bertingkat. Kalau teman yang tidur diatas bergerak, teman yang dibawah akan merasakan gerakan itu. Tidak ada tempat belajar khusus, hanya berjajar tempat tidur dan lemari kecil tempat menyimpan baju atau buku yang kami miliki. Atau asrama mahasiswa kampus yang sangat kumuh dengan ventilasi seadanya, tidak ada housekeeping, jadi kami membuat jadwal program bersih2 tiap minggunya.
Namun, kenyataan berkata lain. Ternyata disini (Eropa, khususnya Portugal) memiliki standar tersendiri dalam mengelola resident atau asrama mereka. Mereka membuat asrama berasa nyaman, ventilasi lebar yang siap dibuka dikala musim panas atau dapat ditutup dengan maksimal tanpa ada celah sedikitpun ketika musim dingin datang. Dalam asrama disediakan kamar yang ukurannya cukup luas berisi masing-masing 2 orang, dengan 2 lemari pakaian besar, meja belajar, malpu belajar, lampu tidur, lampu kamar. Fasilitas dikamar yang menarik lainnya selain tempat sepatu yang sudah disediakan berpasangan adalah tempat cuci tangan air mengalir, jadi kalau malam2 terbangun ingin ambil air wudhu, saya tidak usah susah2 keluar kamar.
Fasilitas pendukung lainnya adalah tempat memasak yang electric, diberikan fasilitas lemari es untuk menyimpan makanan. Kebanyakan dari kami, mahasiswa muslim lebih nyaman masak sendiri. Jadi persediaan bahan makanan akan tersimpan dengan baik di dapur ini. Dan fasilitas housekeeper yang membantu membersihkan kamar, hingga lantai serta sampah tidak menjadikan asrama kumuh.
Tempat mencuci, walaupun harus menyisihkan koin lagi sekitar 1,8 euro setiap kalo mencuci, namun cukup membantu karena tidak harus capek-capek kucek2 baju dikamar mandi. Kamar mandi dikhususkan buat mandi saja. Ada seorang temen yang dibela-belain membeli ember karena mungkin pengen ngirit mencuci sendiri malah dapat teguran, bahwa tidak boleh mencuci dikamar mandi.
Itu merupakan kenyataan lain yang kudapatkan, dan sangat terbayar dengan harga 98 euro/bulan. Beberapa teman di kota lain seperti Braga, Coimbra atau Porto bahkan harus merelakan lebih banyak euro-nya (180 – 350 euro/bulan) karena mereka mendapatkan fasilitas yang lebih bagus. Seperti tinggal sendiri dalam satu kamar, dapur ada dalam satu kamar, dicucikan, serta loker masak tersendiri dan dengan kunci. Ada harga, ada fasilitas.
Kelebihan lain yang kudapatkan dengan tinggal di asrama mahasiswa adalah seperti yang sudah saya singgung sedikit diawal. Kemungkinan bersinggungan dengan mahasiswa multikultur, multirase, multi bahasa dan multi agama, lebih besar. Setiap harinya kami harus berpapasan, berkomunikasi, dan saling membantu. Hal ini menjadikan self awareness akan cultural menjadi terbentuk. Bisa lebih toleran terhadap kebiasaan hidup orang lain.
Pernah diawal-awal datang, aku mencoba mendengarkan ayat alquran dengan volume sedang sambil nyetrika baju. Aku pikir, kamarku jadi bebas hawa-hawa panas atau jin gitu  eh…malah besoknya aku dapat complain, karena katanya “lain kali kalau mendengarkan music jangan keras-keras, mengganggu teman sebelah yang akan tidur..”. eh, iya, aku baru sadar, kalo aku lagi di luar negeri, mungkin waktu di Tangerang dulu, sudah kebiasaanku mendengarkan Tilawah dengan volume sedang, dan tidak ada yang complain, karena mereka (temen-temen) sebelah kamar juga enak-enak saja mendengarkan Tilawah. Namun disini lain.
Dengan seringnya bersinggungan dan bersentuhan dengan bahasa-bahasa asing. Menjadikanku lebih cepat dalam progress melancarkan komunikasi. Bahkan karena teman sekamarku dari Negara yang berbahasa portugis, maka aku bisa mendapatkan pelajaran dari percakapan-percakapan kami. Hal ini akan sangat beda dibandingkan dengan tinggal dalam komunitas homogen, sesame orang Indonesia misalnya. Mendapatkan pelajaran bagaimana setiap teman dari Negara lain mengerjakan tugasnya, ada yang sangat perfectionis walau kadang malah jadi salah kaprah, ada yang slow down…babeh… Namun demikian tinggal dalam sebuah komunitas heterogem dan multi habits ini tidaklah selalu positif, hal-hal yang tidak baik misalnya kehilangan barang di dapur, rebutan tempat masak, atau saling complain adalah suatu hal yang sering terjadi. Bagiku, yang kebetulan bahan makanan sangat beda dengan mereka, karena makanan pokok adalah nasi, sayur dan lauk. Maka jarang saya kehilangan barang. Yang ada adalah alat masak dipakai dan tidak dicuci. Untuk menyikapi hal ini, saya sering lebih baik menyimpan beberapa makanan di kamar, seperti roti, telur dan susu. Hal lain yang sebagai Indonesian kurang masuk akal adalah kebiasaan mereka berciuman didepan mata, bukan hanya cipika-cipiki namun benar-benar ciuman basah!! Ciuman di depan TV, ciuman di depan pintu, sambil makan juga sempat-sempatnya ciuman. Pernah suatu ketika aku lagi masak, dan dimeja makan lagi ada sepasang cowok-cewek lagi makan bareng, ehh….ditengah-tengah makan mereka ciuman basah berkali-kali…apa ya gak berasa bawang tuch ciumannya???
Namun demikian, ada kebiasaan menarik yang aku dapatkan selama hidup bersama dalam satu asrama ini. Kebiasaan menyapa dengan siapa saja saat berpapasan. Tidak cuman tersenyum/ menganggukkan kepala seperti kebiasaan di Indonesia. Namun mereka akan lebih senang jika di sapa dengan selamat pagi, selamat siang atau selamat malam. Kebiasaan lain yang bagus adalah kebiasaan mengetuk pintu. Walaupun tahu bahwa pintu itu tidak terkunci, namun kebiasaan ini menurutku bagus untuk menjaga privacy kalau2 orang yang lagi didalam ruangan sedang melakukan sesuatu (penilaianku…) dan tidak mengagetkan mereka.
Itulah sepenggal kisahku tinggal disebuah asrama mahasiswa di pinggiran kota Santarem, Portugal.

Jumat, 09 November 2012

Menciptakan Lingkungan Kerja yang sehat

Menciptakan lingkungan kerja yang sehat adalah sebuah kompetensi yang harus dimiliki oleh semua staff di tiap unit di rumah sakit. Termasuk didalamnya adalah perawat. Perawat dituntut memiliki kemampuan ini karena dalam kenyataan dilapangan, perawatlah ujung tombak pelayanan rumah sakit. Perawatlah yang lebih banyak “bersentuhan” dengan pasien dan keluarganya. Dalam 24 jam, perawatlah yang lebih banyak berkomunikasi dan memberikan pelayanan dengan asuhan keperawatannya. Dari hal tersebut, perawat harus mampu memulai dari dalam dirinya menciptakan lingkungan kerja yang sehat.
Sesuai standar American Association of Critical Care Nursing (AACN) Lingkungan kerja yang sehat dipengaruhi oleh beberapa kategori, yaitu: kemampuan berkomunikasi yang baik, kerjasama/kolaborasi yang sesungguhnya, pengambilan keputusan yang tepat, pengaturan ketenagaan yang memadai, saling mengakui dan menghargai antar staff, serta kepemimpinan yang handal.
Sudah bukan sesuatu yang baru ketika komunikasi adalah kunci jawaban paling ampuh dalam sebuah hubungan interpersonal, dalam komunikasi terkirim sebuah pesan dan diterimanya pesan timbale balik. Komunikasi dianggap sebagai “senjata” paling ampuh yang dimiliki oleh seorang perawat. Baik dalam hubungannya dengan pasien, atau selebihnya hubungan dalam sebuah tim.
Yang akan lebih saya soroti disini adalah variable ke 6, yaitu saling mengakui dan menghargai antar staff, professor J, seorang guru besar keperawatan di sekolahku mengatakan bahwa. Aspek ini sangat penting dan merupakan aspek dasar dalam sebuah hubungan. Hubungan tanpa adanya saling menghargai akan menganggap yang lain superior dan yang lainnya inferior menjadikan hubungan dilingkungan kerja tidak sehat. Baik hubungannya dengan antar profesi atau sesame profesi sendiri.
Saling mengakui dan menghargai sesame profesi perawat saya pandang sebagai sebuah hal yang sangat-sangat penting. Aspek ini harusnya sudah ditanamkan secara berulang-ulang dan benar-benar menjadi consent dalam keperawatan. Fenomena yang ada selama ini adalah, belum adanya saling mengakui, menghargai dan berjalan seirama. Masing-masing menggunakan egonya sendiri, masing-masing menganggap bahwa dirinya paling benar dan paling mampu. Sebagai contoh simple sebagai embrio rasa tidak mengakui sesame profesi adalah ketika sesama mahasiswa yang sedang praktik klinik di rumah sakit dan bertemu dengan mahasiswa dari institusi lain. Bukannya mereka duduk bersama dan berdiskusi merencanakan sebuah pengembangan bersama, yang ada adalah saling menggunjing, saling menjelek-jelekkan institusi yang lain, memandang bahwa intitusi lain begini lah, institusi itu begitu lah dan sebagainya. Tanpa adanya rasa saling memiliki profesi bersama, memiliki tanggung jawab bersama mengembangkan profesi keperawatan ini.
Karena hal tersebut sudah menjadi kultur yang terus menerus dihembuskan oleh generasi pendahulu hingga generasiku, dan kenyataan dilapanganpun tak jauh berbeda dengan yang terjadi semasa menjadi mahasiswa. Bahkan dalam structural dan organisasi pemerintahpun walaupun katanya profesinya perawat masih saja terkotak-kotak tanpa adanya keselarasan pandangan.
Ambil saja contoh, jenjang pendidikan keperawatan di Indonesia yang masih terpecah belah dan susah disatukan karena memiliki pandangan masing-masing. Pendidikan dibawah kementrian kesehatan yang di formulasikan hingga pendidikan D-IV keperawatan semakin menjadikan profesi keperawatan semakin tidak focus. Pendidikan dibawah kementrian dikti diawali dari jenjang sarjana hingga pascasarjana. Hal ini contoh real yang bagi siapa saja kadang menutup mata dan telinga untuk membahasnya karena masing-masing memiliki kepentingannya sendiri-sendiri.
Lagi-lagi ketika sharing dengan professor dikampusku saat ini, pada awalnya aku menggali informasi system pendidikan di Portugal, ada berapa banyak pendidikan tinggi keperawatan di Portugal dan sabagainya, dan mengalirlah obrolan kami. Hingga sampai pada pertanyaan beliau mengenai Indonesia. Pertanyaan beliau sangat spesifik dan simple, “dengan adanya multi level pendidikan, mulai dari Diploma, dan sarjana apakah dilapangan ada perbedaan tanggung jawab?”
Aku hanya tersenyum dan mencoba menjawab secara diplomatis. Kemudian beliau mulai menceritakan bahwa 15 tahun silam, di Portugal juga memiliki masalah yang sama. Dengan banyaknya macam pendidikan keperawatan dan level jenjang pendidikan. Namun, kemudian perawat-perawat di Portugal duduk bersama, saling membuka hati dan pikiran bersama-sama bahwa perlu adanya pembenahan. Hingga kemudian dirumuskan adanya kesepakatan bersama dan menjadi panduan bersama bahwa pendidikan keperawatan di Portugal diawali dengan sarjana keperawatan yang ditempuh selama 4 tahun. Semua pendidikan tinggi memiliki system yang sama dan berada dibawah kementrian pendidikan. Hingga sekarang mereka mampu mengatakan bahwa hampir semua lulusan dari setiap institusi pendidikan memiliki kompetensi yang sama.
Mengenai tanggung jawab dan kompetensi, sesungguhnya akupun pernah mendengar adanya perbedaan dan sudah dirumuskan jauh-jauh hari sebelumnya. Namun kenyataan dilapangan memang jauh panggang dari api. Semua berjalan seperti apa adanya, seperti kultur dan kebiasaan yang sudah ada dari ratusan tahun sebelumnya.
Berkaca dari Negara Portugal dan mungkin Negara-negara yang lain. Mampukah para petinggi-petinggi keperawatan di Indonesia, baik yang ada di kementrian kesehatan atau kementrian pendidikan duduk bersama dan saling membuka hati dan pikiran untuk mendapatkan jalan keluar secara bersama?
Memulai langkah baru memang kadang tidak mudah, kadang membutuhkan effort yang cukup kuat untuk membuang jauh-jauh kepentingan pribadi, mengesampingan bisnis dan kebutuhan dapur. Namun demi kemajuan profesi keperawatan di Indonesia, alangkah mulianya jika pengalaman di Negara Portugal bisa menjadi referensi untuk Indonesia. Dengan begitu buruknya system kerjasama didalam profesi keperawatan sendiri menurutku menjadikan profesi lain bertepuk tangan dan tersenyum “menghina”.
Bagaimana mereka akan menerima kita sebagai mitra jika dari dalam profesi sendiri kita masih saling bertengkar, saling “jotakan” belum ada kesepahaman bersama. Apakah teori kolaborasi dan kemitraan hanya akan berdengung di dalam teori dan pelajaran kampus saja namun jauh dari kenyataan di lapangan??
Ada beberapa hal yang tentunya mampu dilakukan sejak dini untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat, khususnya saling menghargai dan mengakui antar sesame profesi.
Pertama, sejak awal seorang calon perawat harus sudah ditanamkan dan diajarkan secara mendalam dan berulang-ulang. Tanamkan dalam pikiran dan tingkahlaku mereka bahwa menghargai sesame perawat adalah hal yang paling penting. Jangan memandang mereka dari institusi mana, namun yang namanya perawat, kita bisa bersatu tanpa ada embel2 nama institusi pendidikan.
Kedua, role model dan contoh para petinggi-petinggi di keperawatan harus mampu memberikan gambaran bagaimana sesama perawat menghargai dan mengakui antar sesamanya, sesame institusinya. Dengan kesungguhan hati mampu membuka diri dan membagi ilmunya untuk bersama.
Ketiga adalah mencoba mengaaplikasikan apa yang sudah dipelajari dengan sebaik-baiknya, bekerja dengan sepenuh hati dan menjadi bagian dari system kerja secara seimbang dan professional.
Keempat, membawa pemahaman saling menghargai dan mengakui sesame profesi perawat kedalam dunia pekerjaan. Jangan mudah bertengkar sesame perawat sendiri, saling bekerjasamalah, saling menjaga dan berkomunikasi yang baik. Jangan sampai mengkambinghitamkan sesame perawat atau bahkan menjatuhkan nama baik sesame profesi.
Keempat hal tersebut yang saya rasa bisa dijadikan permulaan dari dalam diri sendiri dan sesame profesi untuk saling mengakui dan menghargai. Setelah itu baru diaplikasikan ke profesi lain dalam sebuah tim.

Kamis, 08 November 2012

3 P bersama Prof J

Kuliah dikelas bersama dengan seorang Profesor membuatku semakin mudah mengantuk...sumpah dech. Namun sungguh aku tahan sekuat tenaga karena Profesor ini begitu baik, begitu sabar dan telaten dengan mahasiswanya. Aku gak enak kalau nantinya dikira gak menghargai. Tapi rasa kantuk semakin menyerang ketika kelas baru berjalan 1,5 jam…masih 1 jam lagi, masih panjang..dan gubrak…!!! aku baru sadar kalau ternyata aku menjatuhkan buku dan pensil yang aku pegang untuk nulis. Semua melihatku, wajahku memerah…dan semua tertawa.
--- Professor J namanya, beliau begitu ramah, selalu menyapa semua mahasiswa dan berjabatan tangan denganku. Selalu menanyakan kabar dengan senyumannya yang hangat. Walaupun sudah “sepuh” namun beliau mengatakan bahwa belum pengen di pensiun, masih ingin mengabdi untuk berbagi ilmu. Kalau pensiun dan tinggal dirumah tanpa aktivitas, katane malah bikin stress dan depresi. Bener juga… Beliau kemudian menceritakan bagaimana kisah perjalanannya menjadi dosen, ketika sudah 23 tahun menjadi perawat di RS, kemudian beliau memutuskan untuk melanjutkan studinya hingga tingkat doctoral.
Beliau mengatakan, dalam hal mengajar, seorang dosen dibagi menjadi tiga kelompok, 3P katanya. Kelompok pertama di sebut dengan Pure lecturer. Kelompok ini biasanya kelompok dosen-dosen baru yang mengajar 1- 5 tahun, mereka akan focus pada bagaimana dia berbicara dengan baik, bagaimana mengelola kelas dan focus pada pencapaian karier dan pendidikan yang lebih tinggi. Dia akan lebih “mendikte” dan penjabaran sekenanya.
Kelompok kedua adalah Professional lecturer, kelompok ini diisi oleh dosen-dosen yang lebih pengalaman mengajarnya lebih lama, yaitu 5-10 tahun. Mereka akan terbiasa menjadi perfectionist, mengevalusi hasil ujian dengan seksama dan tanpa ampun. Mereka berfokus pada pencapaian mahasiswanya. Karena dikelompok ini dosen-dosen sudah memiliki karier dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Kelompok ke-3 adalah Poet Lecture..kelompok professor dan guru besar. Kelompok seperfi Prof. J mungkin. Hehe. Kemampuan mengelola kelas tidak diragukan lagi, kemampuan berargumentasi dan menjelaskan pandangan-pandangannya tidak bisa dibendung, semua tumpah ruah, mengalir begitu derasnya…hingga mahasiswa yang mendengarnya bagaikan mendengar sebuah sebuah puisi…
--- Ternyata beliau menyadari kalau kelasnya kadang membuat mengantuk. Hingga beliau memutuskan untuk memberikan setumpuk bacaan buat kami. Setelah dibagi menjadi 6 kelompok, setiap kelompok harus menganalisa dan memahami setiap topic yang beliau arahkan. Syukur dech…membaca paper dan jurnal membuatku lebih tidak mengantuk…karena bisa sambil ngobrol.. dan makan biscuit.

Rabu, 07 November 2012

Kuliahku dulu dan sekarang…

Yang ada dalam bayangan adalah perkuliahan seperti saat dulu di bangku s1, datang, mendengarkan dosen ngomong, tanya jawab kalau ada waktu, atau karena mahasiswanya begitu banyak jadi aku bisa tidur2an di bangku paling belakang, nitip absen, dll. Namun katanya sekarang sistemnya sudah berubah. Mahasiswa lebih diarahkan untuk belajar mandiri, dosen hanya memberikan supervisi dan bimbingan saja. Semoga sebuah kemajuan dan dilaksanakan dengan baik.
Perkuliahan memang membutuhkan banyak konsentrasi dan pemikiran tingkat tinggi (bahasaku agak di lebay2-kan!), karena kalau hanya dilakukan dengan sambil lalu tentunya hanya menghasilkan sisa buangan tanpa ada yang mengendap untuk disintesis suatu hari nantinya.
Dulu waktu kuliah s1, banyak dijejali tugas2 dan banyaknya perkuliahan kelas membuatku hanya berkutat di kost2an, kampus, masjid (kadang2), dan organisasi kecil2an (maklum…gak lihai dalam dunia persilatan organisasi intra atau ekstra kampus!). Selebihnya digunakan untuk mencari hiburan seadanya, belajar seadanya, dan mengaji bersama (seadanya gak ya??? Gak lah…).
Itu sudah berlalu enam atau tujuh tahun lalu, dan kini ketika aku memutuskan lagi untuk melangkah ke dunia pendidikan, menjadi mahasiswa lagi, ada sebersit rasa berat untuk melangkah. Ketika terbayang nantinya akan dibebani banyak tugas, akan di berikan ceramah-ceramah dikelas (yang selalu membuatku ngantuk!), dan hal2 formalitas sekolah lainnya.
Masa-masa kebebasanku ketika bekerja aku rasakan berlalu begitu cepatnya, bangun pagi, sarapan, kerja, pulang, tidur, bangun dan kerja lagi. Begitulah rutinitas sebagai pekerja, tanpa ada beban belajar, beban mencapai sesuatu yang lebih tinggi. Sebuah zona nyaman kurasakan….
Keputusan yang aku ambil, bukan sebuah jalan yang salah. Keluar dari zona nyaman sudah di publikasikan sebagai langkah terbaik untuk mencapai cita-cita dan keinginan. Namun bayangan akan sebuah rutinitas tulis menulis, membuat makalah, presentasi dan lain sebagainya seakan kembali menggelayuti kakiku untuk melangkah. Apalagi ketika sharing dengan seorang teman yang baru lulus ambil s2 (master) di Australia yang katanya s2 disana kreditnya sebanyak 72 kredit sudah bikin kelabakan dan berpusing-pusing ria. Nah programku, sama2 s2, sama2 satu setengah tahun…lha kok bebannya 90 kredit! Cukup berat kata temenku.
Sekiyan lama berkutat di dunia pekerjaan, sudah tidak pernah lagi memikirkan yang namanya methodology penelitian, aturan2 baku penulisan ilmiah dan proses-proses pembuatan laporan yang lain. Sungguh sulit diawal-awal ketika otak ini terbiasa dengan kenyamannya, kemudian dipompa lagi untuk berusaha berfikir dan menganalisa. Bismillah….pasti bisa.
Kembali ke system pendidikan yang dulu aku alami dan sekarang aku jalani. Ternyata tidak sepenuhnya seperti yang aku bayangkan. Tugas-tugas memang banyak, ada ceramah dikelas, diskusi dan belajar mandiri. Dari 90 beban kredit yang harus dicapai, prosentase terbanyak adalah belajar mandiri. Mungkin begitulah esensi yang ada, mahasiswa dituntut untuk belajar mandiri dan lebih focus.
Bicara lain mengenai mahasiswa di sini, sejauh pengamatanku mereka memiliki pola belajar yang tidak sama dengan mahasiswa Indonesia. Walaupun mengenai belajar kuliah, dikelas, tugas-tugas hampir sama. Namun yang aku soroti disini adalah kegiatan keorganisasian atau ekstrakulikuler yang mereka punya.
Kebetulan aku diasrama sekamar dengan seorang mahasiswa S1 pertanian asal afrika, aku bisa mengamati kebiasaan dia sehari-hari dalam perkuliahaannya. Kebiasaan party dan mengadakan kegiatan dimalam hari sampai pulang larut adalah rutinitas mereka. Pulang dini hari, jam 3 atau 5 pagi. Ketika aku bangun untuk sholat, mereka datang langsung tidur dan bangun lagi jam 9 atau 10, langsung berangkat kuliah. Kok gak ngantuk ya?? Ternyata mereka rajin kuliah, kalau telat bakalan lari-lari menuju kampus, walaupun kadang tidak mandi, namun mereka pasti berusaha datang ke kampus. Terus kapan mereka belajarnya? Mereka kalau belajar ya benar-benar belajar, masih menceritakan teman sekamarku. Walaupun kegiatan party pulang larut atau bahkan kadang tidak pulang berhari-hari. Namun kalau dia lagi belajar, dia akan dikamar, membaca, konsentrasi dan selanjutnya ya pergi lagi!!
Kultur perkuliahan di Indonesia memang beda karena adat istiadat dan agama mengajarkan hal yang berbeda. Menjadi mahasiswa internasional membawaku menjadi lebih tahu pola hidup, kebiasaan, dan perspective lain mengenai pendidikan dari multicultural ini.

Selasa, 06 November 2012

Traveling Addictive 2 - Obidos…the historical were disappears

Aku terpana melihatnya, ketika menginjakkan kaki keluar dari Bus Tejo yang membawaku ke area wisata kota tua bernama Obidos. Terletak di Pousada do Castelo atau Oeste Subregion bagian dari Estramedura region yang merupakan historical province of Portugal. Mengunjungi Obidos adalah program International Weeks yang diakan oleh kampus tempatku belajar. Bersama-sama dengan semua mahasiswa internasional dari berbagai Negara kami dibawa kesana.
Walaupun tidak ditemani oleh tour guide namun, aku mencoba menangkap sinyal-sinyal yang ingin disampaikan dari landscape kota ini. Sebuah kota kecil dikelilingi oleh benteng pertahanan. Sejarah mengatakan bahwa kota ini dibangun oleh bangsa Moor setelah mengalahkan kekaisaran Romawie pada abad ke-5 (http://en.wikipedia.org/wiki/%C3%93bidos,_Portugal). Namun pada tahun 1148 Raja Portugal pertama yang bernama Afonso Henrique mengerahkan pasukannya, dibawah pimpinan Gonçalo Mendes da Maia bangsa Moor dikalahkan dan Obidos diambil alih oleh mereka.
Memasuki gerbang kota Obidos hanya ada satu pintu, pintu gerbang tampak sangat kokoh dengan lengkungan khas peradaban arab. Kota ini sekarang benar-benar menjadi kota turis dan tempat wisata, bahkan bisa dikatakan desa wisata. Rumah-rumah didalamnya sudah disulap menjadi tempat menjajakan aneka macam miniature dan oleh-oleh khas Portugal ataupun Obidos. Jalan masuk utama langsung menuju ke puncak menara yang sudah disulap menjadi lonceng tower. Namun bentuk lengkungan khas kubah masjid masih Nampak jelas disana, hanya saja diatas lengkungan kubah tersebut sudah di tambahkan salib. Aku membayangkan dulu sekitar abad 6, setiap sore adzan dikumandangkan dari atas menara tersebut dan anak-anak kecil berlarian dijalan utama ini menuju masjid untuk mengaji dan sholat. Kucoba mendekati dinding benteng yang kokoh itu, kusentuh perlahan bongkahan batu kasar itu. Bongkahan batu sayang sama sejak tahun pertama diletakkan hingga sekarang. Bongkahan batu yang menjadi saksi bisu sebuah peradaban berganti, batu yang menyaksikan setiap detik waktu berganti dan begitu banyaknya kepentingan-kepentingan didalamnya. Andai engkau dapat bercerita..tak cukup ratusan buku menulis setiap kata darimu..
Benteng masih tampak berdiri dengan kokohnya, menapaki tangga-tangga menuju puncak benteng berasa kembali kejaman dulu ketika bangsa Moor masih berkuasa dan tempat ini menjadi pusat aktivitas penduduknya. Benteng ini yang melindungi mereka dari serangan musuh, melindungi mereka dari hawa dingin diakhir tahun.
Melewati hari di Obidos hanya dihabiskan dengan berfoto dan makan siang, tidak ada penjelasan sejarah sedikitpun dari orang asli yang tinggal disini maupun dari tulisan-tulisan yang ditinggalkan. Mungkinkah semua sudah dihapus hingga tidak ada yang bisa mendetesinya lagi. Mungkin… Yang kutemukan disana adalah sebuah gereja dengan yang dibangun di tengah2 kota, dibangun tahun 1182. 34 tahun setelah kota ini dikuasai oleh Raja Afonso. Dan kenyataan sekarang ditulis disana bahwa Obidos dibangun sebagai Vila khusus putri Portugal, yang dibangun sekitar tahun 1384. Kenyataan yang sengaja ditutupi untuk menyembunyikan realita sebenarnya atau dengan kesengajaan agar sejarah tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya.
Obidos…sejarah yang hilang, atau sengaja dihilangkan? Begitulah yang kurasakan. Tak kuasa menahan keingintahuan, kucoba mencari jawaban di google. Pada awalnya kusearching peradaban islam di Portugal, namun disana muncul beberapa tampilan gambar Obidos dan Alhambra. Sungguh tak terduga bahwa landscape kedua tempat ini bercirikhas sama. Hanya saja karena Alhambra merupakan pusat kerajaan kekhalifahan Bani Umayah jadi ukurannya lebih besar dan lebih megah dan didalamnya masih dijaga keasliannya.
Melewati hari-hari di Portugal menjadikanku semakin yakin bahwa dulunya Negara ini merupakan sebuah peradaban islam yang sangat maju. Dengan banyaknya peninggalan ditiap sudut kota, walaupun “mereka” berusaha menutupinya dengan berbagai macam cerita dan tulisan ataupun historical yang mungkin diciptakan dengan sengaja. Namun hati kecilku masih tetap yakin dengan tampilan fisik dan cisi khas yang Nampak dari peninggalan-peninggalan kejayaan Islam.
Masih teringat dengan jelas ketika pertama diadakan City Tour dan kami sebagai mahasiswa Internasional di berikan penjelasan oleh tour guide. Si mbak-mbak tour guide hanya menjelaskan sejarah Portugal sejak abad ke 15an saja. Tanpa pernah menyinggung mengenai sejarah diabad-abad sebelumnya.
Hari sudah hampir senja, ketika kami satu rombongan melangkah keluar menuju parkiran Tejo Bus yang dengan setia menunggu kami. Tak ingin rasanya beranjak dari atas benteng memandang jauh kebawah yang menawarkan indahnya lahan hijau dan suburnya pertanian di sekitar Obidos..dan mereka dahulu menjadi sakti bahwa Obidos menyimpan cerita yang tak bisa mereka lupakan…

Senin, 05 November 2012

Experiences - Health System

“Klik2…” Sebuah short message masuk.. “Bagaimana kabarnya? Ada update ilmu apa?” Kubaca berkali-kali sms itu, kumencoba memberanikan diri untuk membalasnya walau mungkin tidak sepenuhnya menjawab pertanyaannya. Pertanyaan yang cukup sulit kurasakan.
“System kesehatan di Portugal (LN??) lebih teratur…”
Kukatakan demikian karena kita bisa berkaca pada diri kita sendiri di Indonesia. Semua orang sudah tahu dan tak bisa memungkiri bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia masih jauh dari kenyataan tertata dengan baik. Kesenjangan terjadi dimana-mana. Ada harga ada rupa. Ada uang layanan terbaik bisa di beli. Kalau gak ada uang, silahkan mencari tempat untuk dikuburkan. Bahasaku sangat sinis memang. Namun demikian adanya.
Kenyataan pahit yang pernah aku lihat didepan mata kepalaku sendiri, ketika seorang pasien dengan terpaksa mengambil jalan pintas, pulang paksa atas permintaan sendiri, dan minimal therapy, do not attempt resuscitation (DNAR). Padahal kondisi sepsis berat seperti yang dialami pasien tersebut, jika ada pelayanan yang maksimal akan dapat di lalui, dan crisis schok sepsis akan tertangani.
Kenyataan mengatakan lain, kondisi financial problem yang dialami dan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan menjadikan fakta bicara lain. Rujukan yang dialamatkan ke berbagai rumah sakit pemerintah daerah, yang seyogyanya bisa memberikan pelayanan gratis mengatakan bahwa tempatnya penuh, ataupun jika ada tempat, tidak memiliki vasilitas mechanical ventilation. Kenyataan pahit bagi kaum papa!
Fasilitas jamkesmas, askeskin, jamkesda, atau apalah namanya. Tidak membuktikan sebuah cara yang ampuh untuk memeratakan layanan kesehatan. Fasilitas tempat rujukan yang adapun sangat minimal dari sebutan standar. Ataupun jika ada yang standar, warga masih banyak yang belum tahu bagaimana memanfaatkan fasilitas yang ditawarkan itu. Warga lebih senang menyimpan lara-nya sendiri daripada membebani Negara, warga lebih suka menyimpan deritanya sendiri demi kesejahteraan Negara. Namun Negara begitu susah memahami warganya. Mungkin analisaku terlalu ekstrim, memang aku jadikan seperti itu supaya semua membuka mata.
Di Portugal, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia. Karena Portugal bukanlah Negara Eropa yang kaya dan makmur, krisis ekonomi yang melanda eropa menjadikan warganya prihatin dan mendukung pemerintah. Setidaknya demikian pengamatanku.
Di sebuah kota kecil Santarem misalnya. Santarem merupakan sebuah kota distrik dari Portugal. Memiliki pemerintah daerah sendiri. Mungkin bisa diibaratkan provinsi, namun karena kotanya yang kecil dan penduduknya yang sedikit, mungkin hal inilah yang menjadikan kemudahan dalam melakukan pengaturan.
Di Santarem ada sebuah RS Pemerintah yang berdiri kokoh, tinggi, besar. Layaknya RS Siloam Karawaci. Namun ini miliknya pemerintah. Ada beberapa rumah sakit swasta (privat) namun skala dan ukurannya lebih kecil.
Jadi, secara umum dapat disimpulkan seperti ini :
1. Perawat di mana2 underpaid…
Kata banyak temen, semoga tidak hanya sekedar menghibur hati. Gajinya adalah pahala. Yang nantinya akan diterima di surga. InsyaAlloh..
2. Ilmu sich itu-itu saja yang dipelajari
Hanya bagaimana ilmu itu dipelajari, diendapkan, dianalisa dan disintesis. Dengan hati yang bersih dan niat mulia. InsyaAlloh jadi ilmu yang bermanfaat. 3. Yang lebih diperhatikan adalah, bagaimana menggunakan ilmu ke praktek dan mempraktekkan ilmu. serta menjadikan hasil praktek menjadi ilmu
4. Harus berfikir keras menjembatani antara akademik-klinik-akademik
5. Dimana banyak hal yang mempengaruhi, spt expert opinion, pemegang kebijakan dan pengguna jasa. Semuanya terangkum dalam evidence base practice...hingga semuanya sejalan seirama...gak jalan sendiri2 dan punya dunianya masing-masing
6. Harus sama-sama membuka diri dan membuka hati…menerima dan ikhlas menjalankanya.

Sabtu, 03 November 2012

Traveling Addictive 1 - Train..

Setelah beberapa minggu melakukan perjalanan, ternyata traveling tuch ada effect addictive-nya. Jadi tidak heran jika Trinity banyak melakukan perjalanan. Karena menurutku seseorang yang sudah melakukan perjalanan sekali maka mereka ingin mengulangi dan mengulanginya lagi, mengeksplore berbagai tempat-tempat menarik lainnya. Mungkin pikiranku sama dengan pikiran mereka sang traveler addictive bahwa pengalaman hidup itu sebuah nilai yang sangat berharga dan tidak dapat di bayar dan dinilai dengan uang. Karena siapa saja bisa melakukan perjalanan dan bisa melihat sebuah tempat dari gambar-gambar yang ada, namun dengan mengunjunginya sendiri maka setiap orang mampu mendapatkan nilai atau sisi seni dari sudut pandang mereka sendiri, mampu menciptakan cerita-cerita mereka sendiri. Itulah yang saat ini kurasakan, aku jadi ketagihan buat jalan-jalan. Mumpung masih di Eropa, yang akses ke berbagai Negara schengen area dipermudah dengan schengen visa, free traveling. Membuatku semakin bersemangat buat mengabiskan seluruh wilajah…akan kujajah…!!!
Weekend kemarin aku sudah agendakan buat mendatangi pengajian yang diadalah persatuan pelajar Indonesia di Portugal (PPI Portugal). Pengajian yang katane jarang dilakukan ini akan dilakukan di Porto, sebuah kota pelajar dan kota pariwisata di bagian Utara Portugal. Perjalanan kesana harus ditempuh dengan kereta cepat, membutuhkan waktu sekitar 2,5 jam, dengan biaya 20 euro.
System kereta di Eropa khususnya di Portugal (yang aku tahu) memiliki operasional yang cukup bagus. Jadwal yang tertata rapi, sampai menit-menitnya. Dengan system online yang dengan mudah penumpang bisa mengecek jadwal dan harga, serta booking secara online.
Pertama kali datang dan naik kereta membuatku takjub (culture shock) mungkin. Sampai-sampai aku salah naik kereta, untunglah jalur yang aku naiki masih sama, hanya saja jenis keretanya berbeda. Jadi aku harus turun dan ganti kereta, itu saja. Pengalaman lain dalam kereta adalah, terkunci dalam kereta, padahal harus segera turun. Waktu itu, aku pulang jalan-jalan larut malam. Jadi dari Porto aku naik kereta cepat ke Lisbon dan harus turun di Santarem. Karena Santarem bukan pemberhentian terakhir, jadi kereta hanya akan berhenti sejenak dan akan berjalan lagi. Aku sudah mengecek ke petugas tiket jam berapa kira-kira kereta akan sampai di Santarem. Hal ini sangat membantu karena ketepatan jadwal mereka 95% dapat dipercaya. Jadi dengan mengetahui waktu sampai disuatu tempat tujuan, kita bisa memperkirakan kapan harus bangun (jika tertidur), atau bahkan ada temen yang menyalakan alarm. Kalau aku bisanya diperjalanan dekat susah tidur, takut kebablasan.
Nah, waktu itu waktu sudah menunjukkan jam yang dikatakan oleh petugas tiket. Dan dari notifikasi yang terdengar sayup-sayup daalam bahasa portugis yang susah aku mengerti, sepertinya dikatakan bahwa “kereta anda sudah sampai Santarem” , akupun bergegas menuju pintu keluar, namun alangkah malangnya nasibku. Pintu tidak bisa dibuka. Menuju pintu selanjutnya bakalan butuh waktu lama dan kereta akan segera jalan. Kucongkel berkali-kali namun tetap tidak bisa dibuka. “mosok aku harus ke Lisbon? Jam segini gak ada kereta lagi buat balek ke Santarem” pikirku. Dalam emergency time itu, kenapa aku tidak coba pintu sebelah? Dan segera aku buka…brak…dan terbuka..namun…tinggi banget jarak kereta ke rel-nya. Ah. Apa boleh buat…akupun loncat. Pas banget selesai loncat, kereta berjalan. Alhamdulillah….aku tidak terbawa ke Lisbon malam ini.
Satu hal lagi yang sangat menarik dari ketepatan jadwal kereta disini adalah kesalahan melihat jadwal dan mengakibatkan keterlambatan. Suatu kali, aku dan beberapa teman akan menghadiri acara makan-makan di Braga (sebuah kota di paling ujung Utara Portugal sebelum Guimares). Makan-makan kali ini sangat special, bukan karena gratisannya, namun denger-denger ada masakan khas Indonesia (Rawon..khas Madura!!??) dan walaupun jauh-jauh dari Santarem akupun datang demi merasakan masakan itu.
Kebiasaan orang Indonesia yang menyepelekan waktu keterlambatan dan lebih baik datang 1 menit sebelum atau lebih baik terlambat dari pada tidak datang ternyata berimbas disini. Jadwal kereta sudah aku cek semalam sebelumnya, dan akupun sampai distasiun 5 menit sebelum kereta berangkat. Namun seorang teman, dia masih dalam perjalanan. Katane bangun kesiangan. Kamipun terpaksa memaksanya supaya datang cepat (mungkin dia pikir karena tinggal dekat dengan stasiun jadi gak bakalan telat). Namun pas banget temen itu datang, dan kami berlari menuju line 8 (saat itu kami di pintu masuk line 1), pas sampai di line 8, si kereta melambai-lambaikan tangannya melenggang meninggalkan kami yang tersengal-sengal kehabisan nafas karena harus lari turun-naik tangga.
Itulah, betapa waktu ternyata sangat berharga. Ketinggalan sepersekian menit membuat kami harus menunggu 1 jam lagi untuk kereta tujuan yang sama. Kebiasaan kita yang sering menyepelekan keterlambatan, membuang-buang waktu yang seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik. Sekarang baru belajar, alangkah baiknya jika datang lebih awal, lebih baik menunggu diawal 10-15 menit dari pada ditinggal dan harus menunggu lebih lama. Atau mencoba menerapkan nilai-nilai “lebih baik tidak usah datang jika bakalan terlambat”
Sedikit perjalanan yang menyisakan beberapa hal konyol dan menyenangkan, tak terduga dan membuat ingin mengulanginya lagi dan lagi. Sudah kurencanakan liburan natal dan tahun baru, liburan paskah, libur summer dan tentunya weekend. Indahnya lukisan hidup, hanya kita sendiri yang mampu menciptakannya untuk diri kita sendiri, maka akan kuwarnai hidupku disaat ada kesempatan…
Selamat jalan-jalan para traveler…

Kendala Bahasa Lokal…

Tinggal di benua Eropa yang setiap Negara memiliki bahasa masing-masing walaupun bahasa inggris tetap digunakan sebagai bahasa internasional, namun kadang kala mereka enggan atau tidak mau menggunakan bahasa tersebut atau beberapa memang tidak bisa. Diantara mereka yang jading berbahasa inggris atau bahkan tidak bisa adalah para penjual/pedagang dipasar, penjaga supermarket dan beberapa supir taxi. Awal-awal tinggal di Portugal, ketika bekal bahasa asing yang aku punya hanya bahasa inggris, dan tidak tahu sama sekali mengenai bahasa Portugal. Beberapa kelucuan dan kendala bahasa kurasakan.
Pada dasarnya memang aku susah untuk mengingat kata/bahasa baru, sehingga sangat tidak mudah untuk menghapal vocabulary baru yang diajarkan di kelas bahasa Portugis. Kelas bahasa yang hanya dua minggu kurasakan hanya sebagai hiburan saja, tidak ada yang nyantol sedikitpun, kalau disuruh mengingat, aku ingat apa yang sudah diajarkan, namun aku lupa sama sekali apa isi pelajarannya karena tidak bisa mengulang apa yang diajarkan alias lupa kata-katanya. Misalnya diajarkan bagaimana menanyakan tempat tujuan, menanyakan waktu, berkenalan, memperkenalkan diri, saat belanja, saat di rumah sakit, dan beberapa kata simple lainnya. Jadi, ketika kelas bahasa portugis selesai, yang aku ingat hanya ucapan selamat pagi, selamat siang, selamat malam, apa kabar, permisi, dan…itu saja kayaknya.
Tidak mengherankan jika selama awal-awal tinggal di Portugal dimana beberapa warganya susah dan tidak mau menggunakan bahasa inggris menjadikanku sedikit mengalami kendala yang lucu. Sebenarnya orang-orangnya sangat ramah dan sangat membantu, namun ketika perbedaan bahasa tidak ada jalan keluar, maka pesan yang disampaikan kadang putus ditengah jalan, dan kelucuanpun terjadi.
Pertama datang, aku bersama teman naik taxi berdua. Kami sampaikan tujuan kami dengan menunjukkan tulisan dibuku catatan kecil dan spir taxipun menganggukkan kepala. Setelah berjalan beberapa lama dan sampailah pusat kota, temenku bilang “kayaknya aku turun disini saja dech, asramaku deket2 sini” dan akupun bilang ke sopir taxi…”stop…stop….” Dan sopir taxipun menghentikan laju mobilnya, namun dia langsung memberondong pertanyaan dalam bahasa portugis yang kami berdua tidak tahu artinya, kami berusaha ngomong dalam bahasa inggris tidak di pahami, apalagi ngomong dalam bahasa Indonesia…hihihi….
Setelah bersitegang lama, akhirnya aku baru tahu permasalahannya. Di portugis tidak biasa mungkin menghentikan seseorang sebelum tujuannya dan mengantarkan orang lainnya ketujuan aslinya. Aku mencoba menangkap ekspresi si sopir, mungkin dia bilang “ Lho…tadi kan tujuan kita ke residence A, kok baru di pusat kota sudah turun? Jadi mau bayar bagaimana?” dan ketika temenku turun. Si sopir mungkin bilang, “Bukan..ini bukan Residence A, kamu salah…kita masih jauh….” Dengan sisa tenagaku, aku mencoba bilang, “iya….kita ke residence A, dia turun disini karena dia tinggal disekitar sini….” Dan aku bilang “aku akan membayar semuanya..” baru dech tuch sopir berjalan, dan sebelumnya mencatat jumlah argo yang sudah keburu dimatikan olehnya. “jadi double bayar nech gwe….” Nasib….
Kejadian kedua adalah ketika belanja di supermarket, karena pada minggu-minggu pertama aku belum menemukan makanan halal. Jadinya tiap hari ya makan ikan. Pada suatu hari, kami mencoba mencari selingan. Udang atau yang lainnya. Karena penjaganya tokonya tidak bisa berbahasa inggris, jadinya kami menggunakan bahasa tubuh untuk menjelaskan apa yang kami cari. Pada awalnya kami menanyakan sesuatu, dia tidak mudeng, kami pake bahasa isyarat kalau kami mencari cumi-cumi, sama saja malah kami jadi tertawa terpingkal-pingkal karena temenku memperagakan cumi-cumi sambil gerak-gerak gitu….dan penjaganya tidak mudeng juga. Ach….lama-lama jadi gila juga nech…akhirnya kami nyerah dan beli Salmon saja…
Lama-lama aku mencoba mengamati ketika orang-orang portugis sedang berbicara, lawan biacaranya bisanya akan menjawab “(sim) Sing…atau (Nao) Naong..” dengan suara agak-agak sengau dari hidung, atau “Ta Ben….” Masih dengan suara sengau… dan akupun mempraktekkannya. Aku tahu arti “sim (sing)” itu iya, dan Nao (Naong…)” itu tidak. Jadi ketika petugas asrama mendekatiku ketika pagi-pagi aku sedang masak dan mengajakku berbicara dalam bahasa portugis, akupun cukup jawab, sing….atau naong….dan ta beng…. Dan pada awalnya membantu. Sepertinya tuch penjaga asrama seneng, melihat aku memahami apa yang dia bicarakan. Namun, pada dilama-lama kenapa dia jadi tampak marah gitu? Wah….gawat nech…kayaknya aku salah jawab. Dia mengulangi pertanyaan dan aku jawab “Sing….” Dia tanya…”Sing….???” Aku jawab… “emmmm Naong…” dia tanya “Naong……????” ….lah…ini dia ngemeng apaan ya. ….akhirnya aku nyerah dan kukatakan… ”I don’t understand what are you talking about….desculpa…” baru dech tuch penjaga asrama pergi..dan akupun bebas melanjutkan memasak…
Fatima, namanya begitu muslimah ya, namun dia orang portugis asli, ibu-ibu sekitar usia 45an, rambut tipis bergelombang, kurus namun terlihat lincah dan gesit. Kebiasaannya memakai celana jeans dan kaos you can see. Merokok adalah hobinya disela-sela menjaga asrama dan melayani para penghuni asrama. Selain juga hobi mengajariku ngomong bahasa portugis.
Hari itu hari minggu, ketika aku sedang masak bersama teman-teman, Fatima ikut nimbrung dan berusaha mengenalkan beberapa benda di dapur dalam bahasa portugis, namun sialnya aku yang kena arahan. Aku mencoba mengucapkan, dia bilang “Good…ta beng…” dan menciumku… kata selanjutnya dia masih membidikku, aku ucapkan lagi…dan dia cium aku lagi…hingga berkali-kali dia mengatakan bahwa aku bisa mengucapkan dengan benar dan dia menghadiahiku ciuman….wah…wah…wah….nasib..nasib…

Jumat, 02 November 2012

Menu Makan di LN

Beberapa hal yang aku persiapkan sebelum keberangkatan terkait tinggal lama di luar negeri adalah peralatan masak, makanan dan pakaian. Selain hal tersebut, tentunya aku persiapkan juga peralatan terkait kuliah yang akan aku jalani. Waktu itu ak bawa banyak sekali makanan, mungkin hampir setengah koperku isinya makanan. Temenku bilang, “takut kelaparan loe disana?”
Peralatan masak terspesial yang aku bawa dari Indonesia adalah “cobek” terbuat dari kayu yang dipakai untuk membuat sambel, tak lupa dengan “ulekan-nya” juga. Beberapa teman menganggap aku membawa sesuatu yang tidak penting dan aneh, tapi buatku alat itu sangat penting. Aku bisa membuat sambel kesukaanku, bisa dipakai untuk tatakan saat memotong-motong sayur atau daging. Pokoknya sangat berguna sekali. Bicara “ulekan” tak lupa membicarakan makanan di LN. Kebetulan aku tinggal di Portugal, hanya 6 bulan saja. Portugal masih berasa seperti di Jakarta saat-saat awal datang (bulan agustus-september) namun berjalan selanjutnya ikut-ikutan sedingin Negara Eropa yang lain.
Bulan agustus aku sampai di Portugal, masih harus banyak beradaptasi terkait makanan. Banyak hal yang kurasakan aneh dilidahku. Aku menyiasatinya dengan memasak sendiri. Beberapa bumbu yang aku bawa dari Indonesia sangat membantu dalam menjembatani perubahan dan mempermudah adaptasi (kultur shock-red).
Banyak bahan makanan yang pada awalnya kurasakan asing, tapi lama kelamaan ternyata sama saja. Semua tersedia bahan makanan seperti di Indonesia. Mau apa? Sebutkan saja. Pasti ketemu barangnya. Sebelum berangkat ke Portugal aku pikir nantinya bahan makanan akan berbeda hingga aku membawa banyak makanan, ternyata aku salah. Hanya saja, untuk umat muslim yang harus makan makanan halal, memang harus merelakan waktu dan euro pergi ke kota lain jika menginginkan ayam atau daging halal. Satu hal yang belum aku temukan adalah kecap seperti yang di Indonesia. Kecap yang aku temukan di Portugal tuch kecap asam-manis seperti kecap teriyaki…tapi lumayan enak juga untuk obat kangen.
Aku menyebutnya bahan makanan special, untuk mendapatkan makanan special tersebut (kebiasaan di Indonesia) misalnya aku yang tinggal di sebuah kota kecil, harus ke ibu kota (1 jam by train) untuk mendapatkan tahu, taoge, daging halal, dll. Kalau makanan yang laen bisa aku dapatkan di supermarket terdekat. Aku biasanya akan pergi buat belanja makanan special 2 minggu sekali atau 1 bulan sekali, jadi belanjanya banyak sekalian. Dan biasanya aku akan pergi ke ibu kota sekalian sholat jumat, jadi sekali mendayung makan banyak hal bisa didapatkan. InsyaAlloh dengan jarak yang cukup jauh, sholat jumatanku banyak pahalanya.hehehe..bismillah…
Menyiasati makanan yang kebanyakan non halal dan tidak tahu bagaimana cara memasaknya, aku lebih senang memasak dan membawa bekal kemanapun aku pergi. Ke sekolah, aku bawa bekal, jalan2pun bawa bekal. Pada awalnya aku belum menemukan dimana makanan halal bisa didapat, jadi hari-hari aku lalui dengan makan ikan dan ikan. Selalu ikan..! pagi, siang, makan bersama ikan. Ada sup salmon, ikan goreng, cumi goreng dan udang. Lama-lama bosen juga, dan Alhamdulillah Alloh mempertemukanku dengan sebuah tulisan halal di jajaran tumpukan ayam disebuah supermarket dekat asrama.
Tanpa pikir panjang dan tanpa melihat isinya, akupun langsung ngambil dua bungkus yang ternyata beratnya 2 kg. dalam pikiranku. “Alhamdulillah…akhirnya ntar malam aku akan makan paha ayam!” sudah kubayangkan iklan kecap bango dimana bintang iklannya masak semur ayam. Yuhuiii…yummy…!! Alangkah terkejutnya ketika aku sampai di asrama dan bersiap-siap masak ayam goreng. Setelah kubuka bungkusan itu, ternyata isinya ampela! Jadi aku beli 2 kg ampela. Yach…tak apalah, yang penting bagian dari ayam..dan ada label halalnya.
Malasah yang kadang aku temui adalah ketika jalan2, dan melebihi jam makan siang, akupun terpaksa harus jajan juga. Satu tips yang menurutku sangat bagus buat yang berhati-hati terhadap makanan non halal adalah jajanlah di warung makan orang Pakistan muslim yang menjual kebab, dan ada label halalnya. Namun hal ini kadang susah didapatkan, walaupun kebanyakan ditiap kota kebab sudah eksis namun kalau perut sudah lapar ya mana tahan buat muter-muter nyari tukang kebab dulu. Jadi, hal yang sering aku lakukan adalah mengunjungi warung india. Selain penjualnya yang orang india dan fasih bahasa inggris, mereka kebanyakan akan menyediakan makanan vegetarian karena mereka sendiri kebanyakan juga vegetarian. Bilang saja menu pilihan untuk vegetarian. Maka mereka akan sangat senang menunjukkan pilihan-pilihan bagi vegetarian person. Selain hal tersebut, dapat juga pergi ke toko china, biasanya mereka akan menyediakan masakan asia. Tapi hati-hati, kadang mereka masaknya pakai winyak babi atau wine. Kalau terpaksa di sekitar situ tidak ada warung halal, warung india, atau warung china, akupun masuk saja sambil lihat-lihat. Disitu pasti tersedia banyak sayuran, jadi aku biasa memesan nasi dan sayur saja. Dan minum jus atau susu.
Selain makanan, pakaian yang aku bawa ternyata juga jadi kebanyakan. Aku membawa batik kebanyakan dan tidak mungkin tiap hari aku memakai batik. Karena di LN lebih enak pakai kaos, kalau dingin tinggal dobel2 kaos, ditambah jaket beres. Gak harus setrika, gak harus rapi2. Simple kan? Sudah gitu kebanyakan kalau jalan-jalan dan melihat pakaian yang lucu2 dan harganya murah pasti aku jadi pengen membelinya. Pelajaran yang aku dapatkan disini adalah :
1. Terkait makanan, kalau mau membawa alat makanan seperti Tupperware, sangat membantu. Aku membawa beberapa Tupperware buat bekal, sangat bagus dan kualitasnya oke. Tapi sebenarnya alat masak sangat mudah didapatkan, apalagi sekarang disetiap penjuru kota besar sampai kota kecil dengan mudah didapatkan yang namanya chinas shopping yang menjual berbagai macam alat rumah tangga produksi china. Apa saja dapat dicari disitu, dan murah-murah…walaupun kadang 3 hari dipakai akan rusak…(dilebay2in dikit sich….).
2. Untuk yang paranoid terhadap makanan. Tidak usah khawatir dengan makanan halal. insyaAlloh bagi siapa saja yang menjalankan perintahNya, ada jalan untuk mendapatkan makanan halal.
3. Pakaian, sebaiknya gak perlu lah membawa sebanyak gambreng, pasti akan beli di sini. Bagi penerima beasiswa, tentunya 1 bulan pertama belum menerima beasiswa karena beasiswa biasanya akan turun ditengah bulan atau akhir bulan. Ya tidak apa-apa pakai saja pakaian seadanya, yang kita punya. Ntar kalau beasiswa sudah turun, baru dech beli pakaian. Ada temen yang diawal-awal bulan karena dia hanya membawa 3 pakaian formal, 3 pakaian non formal dan beberapa pakaian dalam. Jadi 1 passang pakaian seringnya dipakai 3-4 hari.

Rabu, 31 Oktober 2012

Suatu saat pasti kurindukan rutinitas yang dulunya kadang aku benci.

Dan benar saja, ketika saat ini aku berkutat dengan tugas-tugas kuliah. Berkutat dengan banyakny jurnal-jurnal yang harus aku baca, update keilmuan dan berbagai metodologi yang harus aku pahami. Aku rindu saat-saat itu. Saat dimana aku terasa tanpa beban. Berangkat kerja, kerja, pulang kerja, istirahat, kerja lagi dan seperti itu sehari-harinya.
Ketika rutinitas sudah dijalani dalam tempo waktu yang panjang dan berulang-ulang, memang membutuhkan adanya break dan rest. Memutus rutinitas dan membuat rutinitas yang baru, hingga kemudian menambah pembelajaran serta memperkaya fikiran dan definisi kehidupan.
Orang yang mengalami rutinitas yang sama mendifinisikan hidup hanya sebatas mencangkul dan menanak nasi. Namun tidak demikian jika kita berfikir bahwa diluar sana, didepan sana masih banyak jalan hidup panjang yang patut kita lalui, patut kita coba melangkah kesana. Begitulah yang memotivasiku untuk keluar dari rutinitas, yang sebagian orang menyebutnya comfort zone.
Sebagai contoh dalam perjalanan hidupku, shift malam, sebuah rutinitas yang sangat menjemukan ketika dilakukan berkali-kali dan dengan berat hati. Dimana orang lain sedang lelapnya istirahat, seorang perawat bekerja di ICU memantau dan memastikan pasien-pasienya aman. Ketika keluarga-keluarga pasien beristirahat di ruang tunggu yang nyaman, saya sebagai perawat memastikan bahwa pasien yang dirawat terpenuhi semua kebutuhan hidup manusianya. Suatu ketika, saat rutinitas menyuapi, membersihkan mulut/ oral hygiene, mensuction, mengambil kultur sputum yang selalu dinyatakan tidak valid. Waktu itu sangat menjemukan dan ingin menyudahinya. Namun kini, aku merindukannya lagi. Ach..manusia memang seperti itu adanya.
Kini aku memiliki ritme yang berbeda, status sebagai student menjadikanku wajib belajar dan mengerjakan tugas-tugas perkuliahan. Dulu aku jarang membaca dan update ilmu, kebanyakan waktu kulakukan untuk kerja dan selebihnya untuk nonton tv, jalan sama temen, atau badminton. Sekerang lain sepenuhnya.
Keluar dari zona nyaman kadang sangat sulit untuk menemukan diri kita kembali. Sudah hampir 10 tahun yang lalu terasa otak ini tidak di isi dengan berbagai macam subject mata pelajaran, seperti spon yang dah mengeras, tidak akan mudah menyerap air kembali. Namun otakku bukanlah spon. Aku hanya belum terbiasa saja.
Kuatur kembali jadwal-jadwalku, aku membuat perencanaa yang matang. Ku sesaki waktuku dengan padatnya jadwal yang kubuat sendiri. Kebiasaan-kebiasaan dilingkungan yang tidak jelas kadang membuatku sedikit tergoda untuk mencobanya hingga ku hianati jadwalku sendiri. Namun dengan kutempel jadwal di depan meja kerjaku, aku bisa dihadapkan kenyataan yang ada.
Kutandai hal-hal yang sangat urgent dan harus diselesaikan dengan segera. Ku tandai deadline-deadline yang mengejarku. Siapapun bisa melakukannya, asalkan dia mau berusaha. Begitulah kata-kata yang selalu memotivasiku. Ini bukanlah mimpi, ini nyata dan wajib dinyatakan dengan hati. Seorang teman mengatakan, ketika semua dilakukan dengan hati, hati yang ikhlas dan taqwa, keihlasan dan ketaqwaan hanya pada Alloh, maka semua akan menjadi mudah.