Jumat, 22 Oktober 2010

Khutbah Jum’at Yang Terlupakan


Kemarin aku melakukan survey kecil-kecilan, lagi-lagi survey ini jangan dianggap ilmiah karena nggak menggunakan metodologi ataupun dasar teoritis apapun juga, aku hanya iseng saja.

Sample dilakukan pada 10 orang, kenapa 10 orang ya biar mudah saja saat menghitung prosentasenya, hehehehe. Trus kriteria sample sedikit aku perhatikan, usia rentang antara 24 s/d 30 tahun, aku pikir rentang usia ini adalah usia yang sangat productive (sesuai perkiraanku saja, gak ada dasar teorinya, hehehe). Trus tingkat pendidikan aku samakan, semua adalah lulusan ilmu keperawatan, kenapa? Karena aku anggap seorang perawat itu memiliki tingkat kecerdasan diatas rata-rata (semoga perkiraanku gak meleset), memiliki daya kritis tinggi, memiliki kemampuan-kemampuan prioritas dan managemen waktu, kan di kuliahan dulu belajar manajemen keperawatan.

Survey hanya dilakukan via layanan sms dengan dua pertanyaan pokok saja. Yaitu :
1.Apakah anda sholat jum’at hari ini?
2.Apa isi khutbah jum’at hari ini?

Sebenarnya pertanyaan pertama adalah pertanyaan pintu masuk saja, karena yang ingin aku ketahui adalah mengenai khutbah jumatnya.

Hipotesisku aku rumuskan sesaat selama khutbah Jum’at yang aku ikuti, hipotesisku mengatakan : Banyak diantara para jemaah Khutbah Jum’at saat ini yang tidak mengikuti khutbah jumat dengan baik” Implikasinya ya khutbah jum’at terlupakan, masuk telinga kanan keluar telinga kiri, dianggap angin lalu saja.

Ternyata perkiraanku tidak meleset jauh. Dari sample yang aku survey, 90% melakukan sholat jum’at, ada 10 persen yang nggak sholat karena kesulitan mencari masjid (katanya…….). Jadi tetap saja aku anggap dia masuk dalam criteria sample yang melupakan esensi khutbah jumat.

Dari 10 orang tersebut, hanya ada 40% orang saja yang tegas-tegas menjawab pertanyaan mengenai esensi khutbah jumat itu. Dan sisanya ada yang terang-terangan biilang “Aduh, maaf, tadi aku ketiduran jadi kelewat dech apa yang disampaikan sang khotib” gitu. Ada juga yang mungkin malu menjawab kalau tidak mengikuti khutbah jumat dengan baik, jadi pertanyaan kedua tidak dijawab. Terpaksa dech, mereka yang diam aku masukkan dalam criteria yang melupakan esensi khutbah jumat.

Jadi disimpulkan bahwa ternyata memang masih banyak para jemaah khutbah jumat yang tidak memahami atau malah melupakan esensi dari khutbah jumat. Tidak tahu apa yang disampaikan oleh sang khotib atau malah tidak tahu kapan awal dan akhir khotbah jumat dimulai. Karena datang langsung pules dan tahu-tahu semua orang sudah berdiri untuk sholat jumat. Dengan terkaget-kaget, terhuyung-huyung karena kaki kesemutan mencoba berdiri (pengalaman pribadi neh…..)

Hipotesisku tidak meleset jauh, namun demikian Alhamdulillah masih ada yang konsisten dengan mengikuti sholat jumat dengan baik dan memahami esensi khutbah jumatnya.

Hasil ini mungkin tidak bisa digenerasilasi, namun kembali aku membayangkan. Sample yang aku ambil adalah usia productive, usia energic, usia emas dimana sample pada usia ini seharunya adalah usia yang memiliki kekuatan fisik yang bagus.

Coba bayangkan dengan para jemaah sholat jumat yang masih terlalu muda atau yang sudah lebih dua kali lipat usia kita? Mungkin apabila survey dilakukan pada kelompok usia berpangkat 4 (> U4) tersebut hasilnya akan lebih menunjukkan bahwa selama ini banyak yang melupakan esensi khutbah jumat itu sendiri.

Mungkin hal ini sebagai pengingat buat aku sendiri, yang kadang melupakan dengan sengaja waktu-waktu sholat jumat, ataupun jika datang ke masjid buat sholat jumat dengan mudahnya tertidur didalam dudukku saat sang khotib membacakan khutbah jumat.
Padahal sudah dengan jelas di ajarkan oleh Nabi kita mengenai keutamaan sholat jumat ini,

Astaghfirullah…semoga Allah mengampuni dosa-dosa dan kesalahanku...

Senin, 18 Oktober 2010

Menjaga Stabilitas Emosi dan Motivasi

Dua tahun yang lalu, tepatnya pas bulan Ramadhan tahun 2008 saya melewatinya di sebuah rumah seorang non muslim, keluarga chiness mix jawa. Saya jadi seorang perawat home care. Sang suami yang aku rawat adalah seorang chiness dan istrinya yang begitu setia adalah asli jawa, bahkan ada keturunan darah keraton.

Saya gak akan bahas mengenai home care dan suka-dukanya menjadi perawat home care, cuman disini saya ingin mengingat kembali mengenai beberapa moment pembicaraan dan beberapa statemen yang kadang membuat aku mendapatkan sisi lain dari pola pikir-pola pikir yang luar biasa.

Bagaimana memandang proses kehidupan kadang kala kita dapatkan dari siapa saja, tak memandang usia, agama, suku dan budaya. Asalkan prinsip-prinsip itu tidak bertentangan dengan ajaran agama saya (Islam) saya menganggap pembelajaran yang sangat indah dan semoga menjadi bermanfaat buat pola pikir saya nantinya.

---------------------------

“Mas Bejo, orang jawa itu punya uang 10 juta sudahmerasa jadi orang terkaya di kampungnya. Bingung mau beli apa, pamer, dll. Beda dengan orang “keturunan”, misalnya sama-sama punya uang segitu mereka masih mengencangkan ikat pinggang, makan pake kecap doang, ibaratnya”.

“O gitu ya bu..” aku menerawang ke luar jendela, hujan rintik-rintik sore itu membawa pikiranku mensetujui statemen yang ibu ini utarakan. “Bener juga ..”, batinku.

Statemen yang lugas dan mengena itu diutarakan setelah aku menanyakan bagaimana si ibu yang seorang jawa tulen ini nikah sama orang keturunan, dan aku pikir si ibu pasti sudah mendalami sekali bagaimana prinsip dan pola hidup yang mengalir dalam darah mereka.

“Satu hal lagi mas Bejo, bapak itu memiliki keuletan yang luar biasa, bapak memuali dari kecil dan modal yang sedikit, tapi kemauannya luar biasa keras”
“Kalau gitu, ibu pasti bangga sekali jadi istri bapak”

Sang ibu ini hanya menjawab dengan senyuman.

Dan selanjutnya ibu itu pun mengenang kembali saat-saat mereka mulai berkeluarga, saat-saat sang suami hanya sebagai penjual barang kelontong kecil dengan modal yang pas-pasan. Sanak keluarga yang seakan melupakan mereka.

“Ya, itulah hidup mas Bejo, dengan keuletan dan ketelatenan bapak dalam bekerja, akhirnya menghasilkan ini semua”

“Wah, luar biasa bu ceritanya, saya jadi merinding mendengarnya…”

-------------------------------

Pembicaraan sore itupun harus diakhiri karena sebentar lagi adzan maghrib dan waktunya buka puasa sudah hampir tiba, sang ibu ditemani pembantunya menyiapkan makanan buat buka puasa. Walaupun mereka keluarga non muslim, namun mengetahui aku yang muslim yang sedang puasa, mereka sangat antusia untuk menghargaiku.

“Kata orang, siapa yang memberikan buka puasa kepada orang yang puasa kan akan dapat pahala yang sama” begitu kata si Ibu di sela-sela menyajikan makanan, sambil bercanda.

Aku hanya mengulum senyum, “Semoga…” batinku….

------------------------------------

Begitulah, aku menyebutnya sebagai kemampuan menjaga stabilitas emosi dan motivasi dengan baik. Dimana mereka tidak mengedepankan keinginan dan nafsu dunia dengan mengencangkan ikat pinggang. Kemampuan lain adalah stabilnya semangat akan pencapaian suatu hal. Ulet. Begitu orang jawa bilang.

Aku sebagai orang jawa tulen, kadang merasa getir sendiri merasakannya, bagaimana aku selalu termotivasi sebaliknya, saat ada walau edikit sudah bingung akan membelanjakannya. Walaupun angan dan cita-cita setinggi gunung, namun rasa malas seakan membelenggu hati hingga tiada yang terrealisasi.

Ah, sudahlah…

Terakhir, baru-baru ini aku tanyakan langsung ke seorang temen yang kebetulan asli chiness. Maklum aku kerja di lingkungan yang banyak orang-orang keturunan, jadi mudah saja menemukan dan kembali lagi mendalami pola pikir mereke.

“Ya, mungkin kalian kan asli sini, jadi merasa memiliki tanah sendiri, ya maklum saja sudah merasa nyaman dengan apa yang dimiliki” Kata dia.

“Sedangkan kami, sebagai warga pendatang, warga keturunan, harus berjuang sekuat tenaga untuk survive, mungkin itu nilai-nilai yang sejak jaman nenek moyang kami tanamkan kepada orang tua-orang tua kami dan akhirnya ya kayak mendarah daging menjadi prinsip hidup kami”

Aku kembali lagi terpaksa atau memang seharusnya menyetujui apa yang mereka paradigma-kan. Peribahasa yang selama ini aku pahami “mangan-ora mangan seng penting kumpul” seakan melelah dan menjadi kurang berarti, ketika dihadapkan dengan ketiadaan semangat akan hidup dalam peribahasa itu.

Yah, memang tidak mudah menjaga stabilitas emosi dan motivasi, kadang up kadang down. Tak terhitung saat tiada haluan...

“Bismillah....” Ikhlas....

Kamis, 14 Oktober 2010

One Day No Rice

Program yang dicanangkan oleh pemerintah ini lagi boomingnya dan lagi hangat-hangatnya di perbincangkan di berbagai media, baik cetak maupun electronik.
Sebuah program yang menganjurkan masyarakat Indonesia untuk menyempatkan satu hari dengan tanpa makan nasi. Dalam rentang waktu berapa lama ya? Tiap seminggu sekali, sebulan sekali atau seumur hidup sekali? Aku belum begitu memahaminya. Namun pada dasarnya ya itu tadi, program “sehari tanpa makan nasi”.

Program ini masih ada yang pro dan juga kontra, ya namanya program baru pasti bakalan menuai banyak protes2 gitu. Kalau menurutku sich program ini ada manfaatnya kok, walaupun mungkin untuk menjalankannya akan banyak kendala, ya secara program ini diperuntukkan bagi semua masyarakat Indonesia, bagaimana cara mengendalikan, bagaimana cara mensupervisi dan mengawasi agar program ini tetap berjalan? Bagaimana jika tidak dijalankan? Apakah aka nada sanksinya?

Jadi menurutku program ini akan sangat individual sekali, mungkin himbauan saja, karena mengingat merubah perilaku pasti akan memerlukan waktu yang tak sedikit dan cara yang tidak mudah.

Apapun itu, aku menyambut program atau himbauan ini baik juga untuk kesehatan. Baik dipandang bagi kesehatan sebuah Negara Indonesia maupun kesehatan individu yang melakukannya. Menurutku, bisa juga diartikan dengan “sehari tanpa makan nasi”, kita kembali menghargai kekayaan sumber daya alam yang ada di Indonesia ini, kekayaan alam yang berlimpah, dengan berbagai macam sumber karbohidrat layaknya nasi.

Aku sempet berdiskusi, lebih tepatnya tanya-tanya ke ahli gizi di tempatku kerja mengenai apa saja yang cocok dimakan sebagai pengganti nasi, dan ternyata memang banyak sekali. Mulai dari Talas (Tales : jawa), singkong, sagu, ubi, kentang, sampai ke tepung-tepungan seperti tepung hunkwe, tepung terigu, tepung maizena, macam-macam mie seperti mie kering, mie basah, bihun, sampe biscuit, krekers, havermut, dan roti putih.

Nah…ternyata banyak banget kan?

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kita akan merasa kenyang dengan makan selain nasi? Karena seringkali kita men-setting dalam benak kita bahwa “belum makan kalau belum makan nasi” sehingga belum kenyang dech walaupun dah makan banyak-banyak.
Ya itu bisa jadi hanya sugesti saja, karena pada dasarnya menurutku perasaan kenyang adalah sugesti. Selain itu, makan juga harus dipertimbangkan jumlah kalorinya. Dimana kandungan kalori setiap makanan sumber kalori (disebut sumber hidrat arang) akan berbeda-beda, sedangkan setiap kita memiliki kebutuhan kalori yang berbeda ditentukan berdasarkan berat badan dan tinggi badan.

Dari hal tersebut untukmendapatkan kalori sesuai kebutuhan, khususnya ketika kita ingin menjalankan program satu hari tanpa nasi ini, kita perlu mempertimbangkan jumlah (dalam berat/ gram atau ukuran lainnya) dari makanan pengganti nasi tersebut.
Misalnya saja, kita biasanya makan 100 gr nasi sehari, maka untuk mendapatkan kalori yang sesuai dengan berat nasi tersebut dibutuhkan 2 buah kentang dengan berat 210 gr (ini berdasarkan leaflet yang diberikan oleh ahli gizi di tempat saya bekerja yo…..)

So, gak ada salahnya untuk mencoba menjalankan program ini, individual saja mungkin. Gak harus dipaksakan,lebih baik dihimbau dan diberikan role model saja dengan komitmen bersama.

Tapi, terakhir aku bayangkan adalah apa ya enak ya? Makan sate kambing disertai biscuit, roti putih (roti tawar), atau bahkan dengan havermut? Kayaknya gak bisa bayanginnya dech….hehehehehehe…

Jadi, PR-ku sekarang adalah, mencoba mencari gabungan-gabungan makanan yang tepat, cocok dan enak dari masing-masing sumber karbohidrat itu ketika akan di makan dengan jenis sayur apa, jenis sumber protein apa, dan lainnya…

Apakah anda berminat untuk mencoba menjalankan program “sehari tanpa nasi ini?”

Kenapa hanya sehari? Gak pengen lebih…?

Selasa, 12 Oktober 2010

Titik Kulminasi


Aku menyebutnya sebagai kondisi “Titik Kulminasi”. Kulminasi secara harfiah diartikan sebagai puncak tertinggi atau tingkatan tertinggi (www.artikata.com).

Ketika kondisi ini aku terapkan pada puncak tertinggi dari kehidupan seseorang, khususnya tingkatan tertinggi dari pilihan-pilihan pekerjaan, pilihan berkeluarga, pilihan tempat tinggal dan pilihan-pilihan lain sebagai titik kulminasi hidup mereka.

Apakah saya, anda dan mereka sudah merasakan titik kulminasi itu sendiri? Menurutku, sebagai manusia yang secara fitrah selalu merasa tidak puas, pasti tidak akan merasakan apakah sebenarnya dia sudah berada di titik tertinggi itu atau belum. Namun hal ini tentunya tidak bisa digeneralisasi, karena ada juga kok yang bisa memahami bagaimana kulminasi itu secara diam-diam telah bersamanya dan memang disitulah seharusnya dia berada. Menurutku bagaimana kita menyadari apakah kulminasi kehidupan atas pilihan-pilihan yang ada, adalah dengan mensyukuri apa yang telah dilimpahkan Tuhan kepada kita.

Ketika aku mencoba berdiskusi dengan egoku, aku mengatakan, “Sebenarnya kapan kamu akan mencapai titik kulminasi atas kehidupanmu?”

Dan egokupun mengatakan, “Titik kulminasi akan aku rancang secara matang, dengan seksama dan mempertimbangkan berbagai pihak”

Secara tidak langsung akupun menyetujui sepenuhnya apa yang egoku inginkan, namun kadang aku berfikir, “Jangan-jangan apa yang telah egoku rumuskan akan pencapaian titik kulminasi menjadi sebuah cara yang niscaya dan sia-sia akan keberhasilannya”

Dan egokupun mencoba menghibur dengan mengatakan, “Tidak ada salahnya masih bermimpi asalkan mimpi itu rasional dan masih manusiawi”. Yup, bener banget apa yang dikatakannya, kadang mimpi-mimpi yang ada akan jauh dari kenyataan, namun dengan mimpi-mimpi kayaknya hidup semakin terasa ada tujuan yang akan dicapai.

Merumuskan titik kulmunasi dari proses perjalanan hidup memang hak dari masing-masing diri kita, begitu juga aku. Ketika aku belum ingin menyudasi kesendirianku, karena aku merasa titik kulminasiku bukan sekarang waktunya, dan ketika masih banyak impian-impian yang ingin aku capai, karena aku merasa bukan disini titik kulminasi itu berakhir.

So,mari kita rumuskan titik kulminasi dengan seksama, macam pekerjaan apa sebagai pilihan terakhir, kapan saatnya membina keluarga, dimana kita akan tinggal nantinya dan lain-lainnya.

Titik kulminasiku akan menjadi rancangan yang indah pada nantinya ketika semua dijalankan secara ikhlas dan penuh rasa syukur..

Semoga apa yang aku rencanakan akan terwujud, karena manusia sepertiku hanya bisa berencana dan berusaha. Allahlah yang akan menentukan semuanyu. Amin…

Rabu, 06 Oktober 2010

Happy Holiday


Pada umumnya liburan itu ya di hari sabtu atau minggu (week end), tapi bagi sebagian orang yang kerjanya shift kayak aku gini liburannya jadi nggak tentu, kadang pas week day dan kadang bisa saja pas week end, tergantung bagaimana pola roster berjalan dan akan berhenti setelah melewati dua malam shift.

Liburan adalah saat-saat yang barangkali ditunggu-tunggu oleh sebagian orang. Bagi yang sudah berkeluarga libur adalah saat yang tepat buat kumpul dengan anggota keluarga yang lain, teman, atau kerabat bahkan bisa juga di liburan week end dapat digunakan untuk melebarkan sayap perusahaan dengan ketemu client pada kesempatan yang lebih santai karena tidak dikejar-kejar waktu.

Selain liburan week end dan libur habis 2 shift malam, ada juga liburan hari-hari besar, atau liburan yang sengaja diciptakan sendiri dengan artian ambil cuti buat liburan.

Temenku bilang, saat libur adalah saat yang penting buat dirinya, karena saat libur adalah saat dimana dia bisa berkumpul dengan anak-anaknya sepanjang hari, bisa mengurus anak berangkat sekolah, mandiin, dan nyiapin sarapan.

Temenku yang lain bilang, saat liburan akan digunakannya untuk hipernasi, tidur sepanjang hari, makan, bermalas-malasan dan memanjakan diri dengan pergi ke salon atau cuci mata di mall.

Tentu saja bagi setiap orang liburan akan memiliki arti tersendiri yang semuanya tentu saja adalah hak mereka masing-masing untuk memanfaatkannya.

“Ya, tak ubahnya mesin, manusiapun butuh waktu untuk rehat fisik maupun pikiran barang sesaat” kata salah seorang temenku.

Jadi, bagaimana dengan kesempatan liburan yang digunakan untuk bekerja karena tuntutan atasan atau tuntutan pekerjaan? Karena ketenagaan sedang kurang sehingga jatah waktu libur diambil untuk bekerja dihitung lembur.
“kalau aku mending jangan dihitung lembur saja dech, diganti libur dilain waktu saja…” begitu sebagian besar komentar yang keluar ketika diminta lembur disaat liburan.

Hal ini membuktikan betapa berartinya liburan, apalagi bagi pekerja shift dimana liburnya adalah setelah 2 malam kerja baru dapat libur. Tentunya libur akan lebih terasa nikmatnya.

Happy holiday, aku maknai sebagai hari yang dipake buat senang-senang, yup, bagiku libur bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Aku tidak suka kalau liburanku ada yang menggangu gugat, biarlah liburanku aku sendiri yang memanfaatkannya sebaik dan semaksimal buat hidupku.

Selasa, 05 Oktober 2010

Faktor "U"


Aku meminjam istilah factor “u” dari buku the naked traveler-nya trinity. “U” disini kependekan dari usia atau umur.
Kata yang kadang sangat sensitive ini menjadi sangat penting dan berharga pada kesempatan dimana seseorang diberikan kepercayaan untuk mendedikasikan factor “u” –nya kepada publik.
Faktor “u” sekali lagi bukan uang, namun jumlah kumulatif tahun hidup seseorang dimuka bumi ini, yup, Umur atau Usia.

---------------

Barangkali memori kita masih ingat dengan iklan sebuah produk “pembakaran tembakau”, dengan kata-katanya “Yang Belum Tua Belum Boleh Bicara”, alias yang boleh ngomong ya yang berumur saja, alias yang sudah malang melintang ratusan juta jam kerja di dunia persilatan ini baru dech di denger tuch suara emasnya (kayak penyanyi saja…).
Mungkin sindiran itu bukan tidak berdasar, karena kultur adat ketimuran Indonesia (lagi-lagi kultur Indonesia yang menjunjung adat ngajeni orang yang lebih tua) memang seperti itu. Tidak selamanya salah sich, cuman akan menjadi sebuah bencana jika pikiran-pikiran kolotnya masih dipertahankan.

--------------

Dari hasil pengamatan sepihak yang aku lakukan, bukan ilmiah karena tidak menggunakan metodologi, serampangan saja karena berdasarkan subjektivitas “aku” sendiri. Mengindikasikan bahwa fenomena kelolotan berdasarkan factor “u” masih juga ada diberbagai lini di negeri tercinta ini.
Hal yang mendasar yang aku kurang suka dengan siapa yang sudah banyak makan asam garam (sudah hampir berapa ton tuch…? Heheheee istilah saja ya…) dia yang boleh “bicara” adalah karena ideologi mereka yang akan sangat sulit dirubah.

--------------

“Bicara” disini memiliki arti yang dalam. Memang dalam UUD 1945 pasal 28E berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Dimana mengeluarkan pendapat adalah hak asasi manusia yang bisa dikeluarkan dengan suara/bicara, tulisan maupun tindakan.
Namun kata “bicara” dalam kiasan diatas adalah, suara yang memiliki power, suara yang bisa mempengaruhi orang, suara yang bisa merubah dunia menjadi terbalik (barangkali…..).
Intinya “hak bicara” yang sekarang di aplikasikan masih menggunakan pola, factor “u” sama dengan boleh bersuara.

Kembali lagi ke factor “U”. Banyak terjadi karena “U”nya sudah pangkat lima ( U5 ) kemudian akan dijadikan acuan bahwa suaranya emas, suaranya merdu, suaranya menghibur, dll…..lho, memangnya biduan dangdut? Hehehe…ya pokoknya itu… Padahal, dengan “U” pangkat lima, karena saking merdu suaranya malah bisa bikin tidur pules. Alias nothing, STD, ideologi lama, menyadur, mengekor, gak ada kreatifitasnya blas…

-----------------

Hasil pemikiran mendalamku menyimpulkan bahwa (cie….pemikiran mendalam, bilang saja kalau asal ngomong….hehehehe) :
1.Semakin pangkat “U”-nya makin banyak, seseorang akan semakin dewasa, namun semakin kekanak-kanakan. Lihat saja….pasti akan lebih sensitif, semakin slow motion (kayak bayi merangkak….cek..cek…), imunitas lemah (bayi….lagi), dll.
2.Kreatifitas akan semakin menurun karena ideology yang tertanam dalam pola pikirnya ya ideology jaman belanda dulu (kale…..), ya liat saja, kadang-kadang kolotnya…..minta ampun dech.
3.Daya saing kurang, hanya mengikuti prosedur yang ada, menjalankan kereta berdasarkan rel yang lurus, beranikah mencoba keluar jalur atau bikin sensasi? Aku ragu…bahkan bisa bilang gak akan berani, karena pasti akan kehilangan apa yang sedang di-"pegang"-nya….
4.Segi positifnya ya apabila ada yang dengan “U” pangkat 6 tetapi masih gaul, bisa diajak having fun bareng (ada gak ya…..??), selalu update status di facebook. Ini mah kayaknya ke-ganjen-an dech..

----------------------------------

Nah, dampak yang akan terjadi dari itu kira-kira apa? Ini nih :
1.Produktivitas menurun. Ya bayangkan saja, dengan factor “U” yang berpangkat-pangkat, menjadikan seseorang tidak kuat goncangan, mudah tumbang, mudah goyah, lemah. Kalau diibaratkan sebuah mesin yang sudah aus pasti sering mogok.
2.Stagnan, alias mandeg. Ya karena kreatifitasnya kurang, jadi ya nggak bakalan membikin gebrakan-gebrakan. Adanya ya itu tadi, mengekor…
3.Udah itu saja, kale…

Sebenarnya aku bukannya nggak suka dengan factor “U” yang masih dikedepankan, namun liat-liat dunk…kasihan kan merekanya yang bersangkutan.

Sabtu, 02 Oktober 2010

Nggrundel


Semakin lama aku rasakan semakin aneh saja, apa yang terjadi gerangan?
Berdasarkan evaluasi serampangan (kemampuan yang aku miliki memang bukan evaluasi secara ilmiah, karena hanya evaluasi berdasarkan subjektivitas diriku sendiri) mengindikasikan bahwa beban kerja yang ada tidak sebanding dengan jumlah ketersediaan SDM.
Hal inilah yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat (sehangat panas badan karena gangguan termoregulasi permanen) dikalangan bawah, nggak tahu kalau dikalangan lainnya.
Hangat-hangat nggak punya power, ya bisanya hanya nggrundel thok..

-------------

“Kayak gini namanya nggak adil banget ya…” Kedua temenku yang baru pulang kerja sambil membuka pintu kost sambil nggrundel, nada suaranya medhok njawani mesuh-mesuh, mirip kumur-kumur karena nada bicaranya yang cepat.
Aku yang sedang duduk didepan TV agak kaget, “Kenapa tho?” Tanyaku mencoba merespon pembicaraan temen kostku tersebut.
Dan cerita panjang lebar keluar dari kedua temenku tersebut, bagai curahan hati (curhat) panjang yang lama terpendam.
Usut punya usut ternyata ditempat kerja temen kostku tersebut sedang banyak kejadian aneh akhir-akhir ini, sistem kerja mereka yang katanya seperti dikejar-kejar maling, SDM yang kurang tapi dipaksakan.
“Seperti pabrik saja!” kata salah satu dari mereka.
“Bahkan anehnya lagi”, kata si Cungkring “Praktek KKN, dalam hal ini lebih difokuskan pada “N”-nya makin meraja lela saja”.
“Bagaimana tidak namanya nepotisme? Lha mentang-mentang dulu satu tempat pendidikan trus sekarang bisa masuk dalam kelompok kita tanpa ada saringan sama sekali” kata si Jambul sambil manyun-manyun mengekspresikan kesebalannya.

Aku hanya bisa menghela nafas panjang….

------------

Yah begitulah Indonesia mungkin, dalam hati aku hanya bisa berbisik, tidak hanya ditempat kerja kalian kok, dimana-mana juga bisa saja terjadi hal semacam itu. Mungkin ini sudah tradisi hidup dan prinsip kebersamaan yang dipahami oleh masyarakat Indonesia.
Dan praktek-praktek semacam itu kan seaka-akan sudah menjadi legal saja, atau karena si pelaku nggak tahu malu. Karena aku rasa semua orang sekarang ini sudah paham tentang wacana-wacana kemerosotan martabat bangsa karena tingkah laku masyarakatnya dengan menjamurnya praktek-praktek nggak fair ini.

------------

Pasti semua tahu tentang nepotisme, kata yang berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya (Wikipedia)
Yup, NEPOTISME, bro…semua orang sudah memahaminya, dan sebenarnya hanya tinggal bagaimana diri kita bisa mencoba dari dalam diri untuk menghindarinya, memutus lintasan-lintasan pikiran yang menjurus ke nepotisme dan akhirnya bisa deh menghilangkan kultur yang nggak beres ini.

Satu hal lagi yang sebenarnya aneh, kadang-kadang praktek ini dilakukan secara serampangan, mending kalo yang jadi target nepotisme itu orang yang qualified dibidangnya, lha kenyataanya bisa berbalik 3240 derajat. Sembilan kali bolak-balik Alias O besar…..gak mutu blas.
Ah merepotkan saja.

------------

Ya itu tadi, layaknya teriak didalam laut kedalaman 100 meter, walaupun teriak sekeras mungkin ya nggak bakal kedengar, untung masih bisa teriak, lha bisa-bisa malah tenggelam dan hanyut nggak tersisa.

“Nggegrundel” aku cari di kamus bahasa jawa nggak ketemu artinya, cuman ak searching di google artinya bisa saja “ribut dibelakang (dalam hati saja)”.
Ya, itulah mungkin, karena kadang kala efek nepotisme dirasakan oleh orang-orang yang berada di sekitar objek nepotisme sehingga merekalah yang selalu rebut-ribut dibelakang, yah…hanya dibelakang….nggak punya power sich…
“Manyun..” :-(