Kamis, 29 November 2012

Pemuda Yang Sehat

Kalo banyak yang mengatakan bahwa pemuda adalah penggerak keberlanjutan dan kelangsungan pemerintah Indonesia kedepan. Aku sangat setuju sekali. Karena di pundak pemudalah dibebankan setumpuk permasalahan negeri yang tak dipungkiri layaknya seperti benang kusut.
Seorang teman dari Indonesia yang sedang melakukan penelitian post doctoral di Portugal mengatakan bahwa, pengkaderan seorang pemuda harus dilakukan secara bersama, sinergis dan tertata sejak di kampus. System recruitment dan penggeblengan melalui wadah-wadah organisasi intra maupun ekstra kampus hingga wadah pengkaderan pasca kampus yang harus menjadi tanggung jawab bersama.
Menurutku hal itu akan sangat wow dan membahana sekali ketika bisa wujudkan dengann nyata dan dilakukan dengan sepenuh hati dan di jiwai kebersamaan untuk memajukan Indonesia. Tidak kemudian banyak kepentingan baik politik maupun kepentingan pencitraan yang akhirnya hanya akan mencemari niat dan tujuan awal.
Satu hal yang aku pikir menjadi variable yang kuat adalah mengenai pemuda yang sehat. WHO sudah mengatakan sejak lama bahwa Sehat ternyata bukan hanya fisik, namun juga menyentuk psikis karena ternyata sehat itu harus menyentuh biso,psiko, social, cultural, dan spiritual. Secara comprehensive dan holistic terprogram dan bersatu padu tak bisa dipisahkan satu sama lainnya.
Sehat secara fisik sudah jelas kita ketahui, karena bisa kita lihat dan kita rasakan. Pemuda yang sehat secara fisik akan memiliki performa dan penampilan yang luar biasa. Namun sehat secara psikis itulah yang ternyata tidak kalah penting dan sangat mendukung performa pemuda ini. BJ. Habibie jauh-jauh hari ketika merumuskan visi dan misi Organisasi Cendekiawan Muslim Indonesia mengatakan bahwa organisasi ini akan menjadi tonggak kemajuan bangsa Indonesia, karena disinilah pemuda memiliki kemajuan di bidang iptek sekaligus imtaq.
Namun benarkan hingga sekarang visi dan misi tersebut ada pada setiap pemuda yang direncakan akan membangun bangsa Indonesia kedepan? Benarkan pemuda-pemuda ini memiliki kesehatan psikis yang baik?
Kesehatan psikis tidaklah selalu berfokus pada mental disorder maupun mental retardation atau bahkan psychiatric problem. Namun lebih dikhususkan disini adalah kebersihan hati, kesiapan mental capacity, kemurnian dan kelurusan niat, serta keberanian untuk maju.
Kebersihan hati dan kelurusan niat merupakan tonggak awal semua perjalanan akan dimulai, ketika semua diawali dengan langkah yang baik, maka dikemudian hari hasil dan pengaruhnyapun akan baik. Namun ketika semua diawali dengan niat yang tersembunyi, niat kepentingan pribadi dan duniawi maka hasil akhirnyapun pasti bertolak belakang.
Kebersihan hati ternyata sangat tampak pada perilaku sehari-hari. Banyak pemuda yang memiliki mental capacity dan kompetensi yang sangat bagus untuk dikembangkan bagi kemajuan Indonesia, namun hanya karena hati yang ternodai kepentingan duniawi hingga menjadikan langkah dan kebijakannya tidak disertai kemurniat niat dan kelurusan diri. Mari pemuda, kita mulai dari niatan dan membersihkan langkah dan perilaku kita.
Niatkanlah untuk kehidupan yang kekal nantinya. Bawalah bersama tanggung jawab ini menjadi keberkahan kita nanti dikehidupan selanjutnya. Kehidupan dunia hanya sesaat, kepentingan dunia hanya muslihat, yang kekal dan abadi hanya bersamaNya.. Sehatkan pemuda kita..

Selasa, 27 November 2012

Arti Keluarga

Membahas mengenai patient and family centered care hari ini membuatku lebih banyak mengetahui seberapa berartinya keluarga bagi pasien. Bagaimana keluarga akan memberikan support dan spirit bagi pasien, dan bagaimana seorang perawat harus memberikan space bagi keluarga untuk bersama pasien.
Keluarga memiliki arti yang sangat signifikan dalam setiap hidup seseorang, keluarga sebagai tempat kita lahir dan bertumbuh, keluarga sebagai tempat kita mengadu tangis dan tawa serta berbagi kebahagiaan dan bahkan keluarga sebagai tempat kita bertengkar dan mengadu masalah. Begitulah, keluarga sangat penting dalam sejarah hidup manusia.
Setiap individu ternyata memiliki definisnya sendiri mengenai seberapa berartinya sebuah keluarga. Setiap individu memiliki nilai dan bagaimana dia memandang sebuah keluarga. Dengan mengetahui nilai dan definisi keluarga untuk setiap individu atau pasien, perawat akan mampu meletakkan dimana posisinya berada dan siapa yang sanggup memberikan benar-benar spirit yang bermanfaat.
Prof mengatakan bahwa seandainya dunia ini sempurna, maka keluarga akan terdiri dari orang tua dan anak-anaknya. Itulah anggota keluarga yang sebenarnya dan sempurnanya dunia. Namun dunia ini dikatakan tidaklah selamanya sempurna, banyak hal yang tidak sesuai. Sejarah mengatakan bahwa keluarga tidak selalu berisi orang tua dan anak-anaknya. Banyak tipe keluarga keluarga yang eksis didunia ini. Ada keluarga murni, keluarga single parent, keluarga sejenis, dan bahkan keluarga dengan anjingnya.
Prof ini membawaku mengaruhi keluarganya sebagai contoh, beliau memiliki seorang kakak dan adik, dan seekor anjing yang mereka anggap sebagai saudara perempuan. Mungkin disini (eropa) sudah bukan hal yang aneh ketika mereka mengganggap bahwa anjing juga dianggap anggota keluarga. Bahkan temenku pernah cerita, ada beberapa orang yang sampai memberikan warisannya pada anjing.
Selama disini sudah sering aku melihat orang jalan-jalan dengan anjingnya, mereka bercengkerama bagaikan dengan anak-anaknya. Atau seorang laki-laki berjalan mendorong bayinya. Suatu yang kadang belum bisa di terima akal pikiran dan nilai social di Indonesia. Namun di sini sudah menjadi hal yang biasa.
Kembali mengenai masalah dukungan keluarga pada pasien yang sakit ICU, perawat sebaiknya melakukan pengkajian lebih dalam kepada pasien, siapa yang paling dianggapnya orang yang lebih bernilai dan penting dalam anggota keluarganya. Orang inilah yang paling memberikan pengaruh dan akan diberikan kesempatan untuk lebih lama menemani si pasien di RS. Dengan melakukan pengkajian ini, maka bisa dihindari adanya ketidak jelasan anggota keluarga khususnya yang memiliki hubungan dekat dan sangat berarti bagi pasien.

Sabtu, 24 November 2012

Sapalah aku..

Perasaan sendiri dan terasingkan (menjadi makhluk asing?) kadang dirasakan ketika berada jauh, beda jarak dan waktu. Ketika disaat temen deket tertidur lelap, disaat itu pula aku harus bangun, atau bahkan sebaliknya, disaat mereka sedang seriusnya mengajak ngobrol, disaat itu pula aku harus tidur karena waktu sudah menunjukkan tengah malam. Ketidak samaan waktu dan tempat inilah yang kadang menjadikan orang yang tinggal di LN berasa sendiri, berasa sepi dan sedih.
Pernah aku merasakan aku begitu sendiri, tidak ada lagi teman jalan, teman ngegosip, dan mencoba kirim berkali-kali sms atau blackberry messenger tapi gak ada yang balas. Saat itu yang dapat aku lakukan hanya online facebook atau membaca berita-berita dari tanah air. Online facebookpun ternyata teman-teman dekat tidak ada yang online. Ugh….sepinya dunia ini kurasakan.
Namun, beberapa saat kemudian ada blackberry messenger masuk. Jam 7 sore waktu portugal, mungkin di Indonesia sudah jam 1 dini hari. Seorang teman menanyakan kabar dan perkuliahanku. Subhanalloh…rasanya seneng banget walaupun setelah kucoba balas seorang temen ini tidak juga membalas mungkin dia melanjutkan tidur atau jaringan blackberry yang kurang baik. Namun yang jelas dia telah mebuatku merasa, kalau aku ini masih diingat olehnya. Terimakasih kawan…
Begitulah, hal kecil yang kadang lupa dilakukan atau enggan dilakukan. Namun ternyata memiliki effect yang positive bagi seseorang yang sedang mengharapkannya. Seperti aku, yang ternyata merasakan begitu hangatnya kehidupan ini jika ada seorang teman yang selalu dapat dijadikan tempat ngobrol, tempat saling ejek (contoh yang buruk…. ) atau hanya say hello dan tanya kabar. Itu sudah membuatku cukup merasakan kebersamaan dan saling memiliki.
Kadang kala memang sebuah pesan akan lama dibalas karena signal yang kurang bagus atau karena keterbatasan waktu pekerjaan dan tugas diantara dua pihak. Namun hanya dengan mengirimkan pesan tanpa mengharap balasan, kadang memberikan effect yang positive bagi si penerimanya. Sebatas menanyakan kabar, menanyakan kesehatan atau memberikan support, semangat dan motivasi atau bahkan sekedar menggoda ternyata memberikan sebuah pengakuan akan kebersamaan.
Aku bersyukur memiliki beberapa teman yang intents berkomunikasi, berdiskusi dan membahas sesuatu atau bahkan hanya sekedar saling ejek mengejek. Teman bagiku akan menambah semangat. Terimakasih teman..kau selalu ada untukku..mari kita teruskan silaturahmi, walau jarak dan waktu memisahkan kita.
Sapalah temanmu, walau jarak memisahkan kalian..

Selasa, 20 November 2012

Traveling Addictive 3 – Church dan bangunan Tua

Menjadi traveler tuch menjadi impianku sejak dulu, apalagi setelah “virus” Trinity menjangkitiku. Ketiga episode buku Trinity sudah aku lahap, buku-buku traveling yang lain juga sudah aku selesaikan, terakhir adalah Oktober 2010 aku menyelesaikan buku “99 Cahaya di Langit Eropa”. Buku yang mengenai perjalanan Hanum di benua biru ini membuatku ingin mengikuti jejaknya. Karena buku Hanum tidak hanya memberikan cerita perjalanan biasa namun memberikan lebih dari inspirasi dan mencari nilai-nilai islami disetiap perjalanannya.
Perjalanan memiliki nilai tersendiri bagi penikmatnya, sebuah perjalanan akan memberikan lukisan dan gambaran tersendiri bagi siapa saja yang melakukannya. Karena tiap individu memiliki point of view masing-masing dan memiliki caranya sendiri-sendiri menilai sesuatu.
Perjalananku dimulai ketika pertama menginjakkan kaki di benua biru, tepatnya sebuat Negara paling utara, Negara Portugal dibulan Agustus akhir. Pada saat itu, cuaca begitu cerah hingga panas. Bahkan lebih panas dari Jakarta. Namun udaranya tidak sepengap Jakarta, karena angin selalu bertiup sepoi-sepoi dan segar. Namun demikian, ketika berjalan lama dibawah matahari akan membuat kulit terbakar juga karena panas. Hari-hari pertama kumulai menjajaki sebuah kota di Portugal, yang pertama aku lihat adalah banyaknya bangunan tua di mana-mana, kotanyapun jadi kota tua. Kalau membayangkan jadi ingat semarang bawah di bagian dekat stasiun tawang, semua bangunannya seperti itu. Jalanannyapun sama, ditata rapi batu-batu kecil berjajar dan bersih.
Bangunan tua menghisasi semua sudut kota namun banyak juga ditemui gereja dimana-mana. Gereja hampir setiap blok ada, bahkan ada gereja besar-besar yang berdampingan. Baru hari pertama jalan-jalan aku sangat takjub melihat megahnya dan besarnya bangunan gereja tua ini. Besar dan angkuh kulihat. Dengan dindingnya yang dingin, lantainya yang dingin dan suasanyanya yang sunyi senyap berasa semakin dingin dan mencekam. Baru di eropa (Portugal) ini aku merasakan masuk ke gereja, karena penasaran juga apa sich isi bangunan segede itu. Ternyata didalamnya banyak lukisan dan patung-patung. Entah apa maksudnya, namun aku foto-foto saja.
Begitu seringnya jalan-jalan dan yang dilihat adalah gereja tua, semakin lama-semakin bisa mengenali gaya gerejanya kok seperti bangunan masjid? Pertama melihat lengkungan setengah lingkaran dinding gereja, langsung bisa merasakan sepertinya ada yang aneh. Banyak gereja yang atapnya mirip seperti kubah, dinding gereja dan tiang-tiang penyangganya yang sangat menyerupai masjid membuatku iseng melakukan sebuah eksperimen.
Dengan bantuan gadget aku coba mengecek arak mata angin (kompas) yang bisa menunjukkan dimana letak kakbah. Alangkah terkejutnya ketika kenyataan yang aku dapatkan adalah arak kiblat sesuai dengan arah gereja ini berdiri. Disana sangat tampak sekali bentuk mighrab berdiri kukuh dengan tiang-tiang penyangganya yang melengkung-melengkung khas masjid. Namun ini baru gereja pertama, mungkin hanya kebetulan saja pikirku.
Perjalanan yang kulakukan ke Faro memberikanku sebuah petunjuk lain mengenai arah mata angin. Faro berada di dekat semenanjung Iberia, yang semua tahu bahwa melalui semenanjung inilah dahulu Islam memasuki benua Eropa. Dan ketika kami city tour di Faro, kami berkunjung ke kota tua dan menemukan dinding-dinding bangunan yang sangat khas timur tengah, melengkung setengah lingkaran (seperti tapal kuda) hanya sayangnya diatas atap sudah berdiri simbul sebuah agama lain.
Bangunan ini sekarang menjadi sebuah gereja di Faro, bangunan yang sudah ditambahkan berbagai ornament khas sebuah agama non islam ini sebenarnya masih dijaga keasliannya. Jadi bagi umat muslim, hal ini sangat mudah dikenali bahwa dahulunya bangunan ini adalah masjid. Iseng aku keluarkan gadgetku lagi dan aku cek arah kiblat. Dan hatiku bergetar ketika arah kibat benar-benar menunjuk kea rah mighrab yang sekarang sudah penuh berisi patung dan lilin.
Aku sentuh tiang penyangga yang berdiri tegap, kupandangkan mataku kelangit-langit bangunan ini, lengkungan itu, dan empat tiang penyangga khas bangunan masjid. Menara tempat panggilan adzan dan bangunan support pelataran masjid yang dipenuhi dengan pohon-pohon jeruk.
Mungkin yang sangat kita kenal dan kita ketahui selama ini adalah kondisi masjid di Ahambra yang sudah beralih fungsi menjadi gereja cathedral. Namun kemungkinan hampir seluruh masjid yang dahulunya dibangun di semenanjung Iberia, negeri handalusia, sudah diubah fungsi menjadi gereja. Mereka menambahkan ornament dan berbagai sentuhan lain. Namun buatku, hal itu tidak menghilangkan cirri khas sebuah masjid. Entahlah…mungkin hal ini bisa jadi salah, namun demikian kenyataan yang aku lihat berkata lain membuatku semakin ingin mendapatkan hal-hal lain yang membuatku semakin percaya bahwa dahulunya Islam pernah memberikan cahanya di benua ini.
Andai saja hal itu masih berlanjut hingga sekarang, mungkin aku akan dengan mudah menemukan masjid di Portugal ini, aku akan mendengar seruan adzan setiap kali waktu sholat. Dimana-mana, akan aku lihat anak-anak kecil berlalian membawa peralatan sholat dan menghapal alquran.
Namun kenyataan sekarang adalah. Bangunan-bangunan yang sudah diubah fungsinya itu berdiri angkuh menjadi tempat yang tak terpakai, hanya menyisakan keusangan dan kegersangan saja. Tidak ada yang menggunakan. Hanya sebatas petugas resepsionis yang akan dengan senang hat menjelaskan kepada turis-turis yang datang dan mereka mengangguk-anguk menerima penjelasan yang entah itbenar atau sengaja ditutup-tutupi. Entahlah…sejarah telah dirubah atau memang sudah berubah, hanya waktu yang tahu. Dan kenyataan sekarang adalah, bukannya anak-anak mengkaji dan menghapal alquran. Lebih-lebih pergi ke tempat ibadah mereka. Namun yang ada adalah, mereka berkumpul setiap malamnya disebuah bar, tertawa dan berjoget mengikuti alunan music yang diputar kencang-kencang. Tidak hanya anak-anaknya, bahkan orang tua dan yang lanjut usia. Mereka lebih mendewakan tempat-tempat itu dari pada mengisi hari-hari mereka dengan sesuatu yang lebih penting.
Kenyataan yang lain adalah, hanya sebuah basemant atau lantai paling bawah dari sebuah apartemen yang digunakan sebagai masjid. Namun Alhamdulillah, dan insyaAlloh ini tidak akan mengurangi kekhusukan kami, umat muslim, menjalankan ibadah di benua biru ini. Ya Alloh…hanya Engkaulah yang tahu, Sang pembolak-balik hati..dan sang penentu sesuatu. Semoga suatu hari, mereka tahu yang sebenarnya telah mereka lakukan.

Minggu, 11 November 2012

Tinggal di Asrama

Tinggal bersama disebuah komunitas multikultur dalam sebuah residence kampus merupakan sebuah kebanggaan tersendiri dan sebuah kelebihan dibandingkan dengan tinggal di apartemen atau menyewa rumah dengan komunitas yang homogeny atau bahkan komunitas individualism.
Pertama yang kubayangkan ketika dikatakan oleh sekretaris konsorsium bahwa nantinya aku akan mendapatkan tempat tinggal sebuah asrama. Bayanganku langsung melayang ke pengalaman tinggal di asrama waktu SMA dulu. Asrama yang satu ruangan besar dengan isi 8 – 10 orang, dengan tempat tidur bertingkat. Kalau teman yang tidur diatas bergerak, teman yang dibawah akan merasakan gerakan itu. Tidak ada tempat belajar khusus, hanya berjajar tempat tidur dan lemari kecil tempat menyimpan baju atau buku yang kami miliki. Atau asrama mahasiswa kampus yang sangat kumuh dengan ventilasi seadanya, tidak ada housekeeping, jadi kami membuat jadwal program bersih2 tiap minggunya.
Namun, kenyataan berkata lain. Ternyata disini (Eropa, khususnya Portugal) memiliki standar tersendiri dalam mengelola resident atau asrama mereka. Mereka membuat asrama berasa nyaman, ventilasi lebar yang siap dibuka dikala musim panas atau dapat ditutup dengan maksimal tanpa ada celah sedikitpun ketika musim dingin datang. Dalam asrama disediakan kamar yang ukurannya cukup luas berisi masing-masing 2 orang, dengan 2 lemari pakaian besar, meja belajar, malpu belajar, lampu tidur, lampu kamar. Fasilitas dikamar yang menarik lainnya selain tempat sepatu yang sudah disediakan berpasangan adalah tempat cuci tangan air mengalir, jadi kalau malam2 terbangun ingin ambil air wudhu, saya tidak usah susah2 keluar kamar.
Fasilitas pendukung lainnya adalah tempat memasak yang electric, diberikan fasilitas lemari es untuk menyimpan makanan. Kebanyakan dari kami, mahasiswa muslim lebih nyaman masak sendiri. Jadi persediaan bahan makanan akan tersimpan dengan baik di dapur ini. Dan fasilitas housekeeper yang membantu membersihkan kamar, hingga lantai serta sampah tidak menjadikan asrama kumuh.
Tempat mencuci, walaupun harus menyisihkan koin lagi sekitar 1,8 euro setiap kalo mencuci, namun cukup membantu karena tidak harus capek-capek kucek2 baju dikamar mandi. Kamar mandi dikhususkan buat mandi saja. Ada seorang temen yang dibela-belain membeli ember karena mungkin pengen ngirit mencuci sendiri malah dapat teguran, bahwa tidak boleh mencuci dikamar mandi.
Itu merupakan kenyataan lain yang kudapatkan, dan sangat terbayar dengan harga 98 euro/bulan. Beberapa teman di kota lain seperti Braga, Coimbra atau Porto bahkan harus merelakan lebih banyak euro-nya (180 – 350 euro/bulan) karena mereka mendapatkan fasilitas yang lebih bagus. Seperti tinggal sendiri dalam satu kamar, dapur ada dalam satu kamar, dicucikan, serta loker masak tersendiri dan dengan kunci. Ada harga, ada fasilitas.
Kelebihan lain yang kudapatkan dengan tinggal di asrama mahasiswa adalah seperti yang sudah saya singgung sedikit diawal. Kemungkinan bersinggungan dengan mahasiswa multikultur, multirase, multi bahasa dan multi agama, lebih besar. Setiap harinya kami harus berpapasan, berkomunikasi, dan saling membantu. Hal ini menjadikan self awareness akan cultural menjadi terbentuk. Bisa lebih toleran terhadap kebiasaan hidup orang lain.
Pernah diawal-awal datang, aku mencoba mendengarkan ayat alquran dengan volume sedang sambil nyetrika baju. Aku pikir, kamarku jadi bebas hawa-hawa panas atau jin gitu  eh…malah besoknya aku dapat complain, karena katanya “lain kali kalau mendengarkan music jangan keras-keras, mengganggu teman sebelah yang akan tidur..”. eh, iya, aku baru sadar, kalo aku lagi di luar negeri, mungkin waktu di Tangerang dulu, sudah kebiasaanku mendengarkan Tilawah dengan volume sedang, dan tidak ada yang complain, karena mereka (temen-temen) sebelah kamar juga enak-enak saja mendengarkan Tilawah. Namun disini lain.
Dengan seringnya bersinggungan dan bersentuhan dengan bahasa-bahasa asing. Menjadikanku lebih cepat dalam progress melancarkan komunikasi. Bahkan karena teman sekamarku dari Negara yang berbahasa portugis, maka aku bisa mendapatkan pelajaran dari percakapan-percakapan kami. Hal ini akan sangat beda dibandingkan dengan tinggal dalam komunitas homogen, sesame orang Indonesia misalnya. Mendapatkan pelajaran bagaimana setiap teman dari Negara lain mengerjakan tugasnya, ada yang sangat perfectionis walau kadang malah jadi salah kaprah, ada yang slow down…babeh… Namun demikian tinggal dalam sebuah komunitas heterogem dan multi habits ini tidaklah selalu positif, hal-hal yang tidak baik misalnya kehilangan barang di dapur, rebutan tempat masak, atau saling complain adalah suatu hal yang sering terjadi. Bagiku, yang kebetulan bahan makanan sangat beda dengan mereka, karena makanan pokok adalah nasi, sayur dan lauk. Maka jarang saya kehilangan barang. Yang ada adalah alat masak dipakai dan tidak dicuci. Untuk menyikapi hal ini, saya sering lebih baik menyimpan beberapa makanan di kamar, seperti roti, telur dan susu. Hal lain yang sebagai Indonesian kurang masuk akal adalah kebiasaan mereka berciuman didepan mata, bukan hanya cipika-cipiki namun benar-benar ciuman basah!! Ciuman di depan TV, ciuman di depan pintu, sambil makan juga sempat-sempatnya ciuman. Pernah suatu ketika aku lagi masak, dan dimeja makan lagi ada sepasang cowok-cewek lagi makan bareng, ehh….ditengah-tengah makan mereka ciuman basah berkali-kali…apa ya gak berasa bawang tuch ciumannya???
Namun demikian, ada kebiasaan menarik yang aku dapatkan selama hidup bersama dalam satu asrama ini. Kebiasaan menyapa dengan siapa saja saat berpapasan. Tidak cuman tersenyum/ menganggukkan kepala seperti kebiasaan di Indonesia. Namun mereka akan lebih senang jika di sapa dengan selamat pagi, selamat siang atau selamat malam. Kebiasaan lain yang bagus adalah kebiasaan mengetuk pintu. Walaupun tahu bahwa pintu itu tidak terkunci, namun kebiasaan ini menurutku bagus untuk menjaga privacy kalau2 orang yang lagi didalam ruangan sedang melakukan sesuatu (penilaianku…) dan tidak mengagetkan mereka.
Itulah sepenggal kisahku tinggal disebuah asrama mahasiswa di pinggiran kota Santarem, Portugal.

Jumat, 09 November 2012

Menciptakan Lingkungan Kerja yang sehat

Menciptakan lingkungan kerja yang sehat adalah sebuah kompetensi yang harus dimiliki oleh semua staff di tiap unit di rumah sakit. Termasuk didalamnya adalah perawat. Perawat dituntut memiliki kemampuan ini karena dalam kenyataan dilapangan, perawatlah ujung tombak pelayanan rumah sakit. Perawatlah yang lebih banyak “bersentuhan” dengan pasien dan keluarganya. Dalam 24 jam, perawatlah yang lebih banyak berkomunikasi dan memberikan pelayanan dengan asuhan keperawatannya. Dari hal tersebut, perawat harus mampu memulai dari dalam dirinya menciptakan lingkungan kerja yang sehat.
Sesuai standar American Association of Critical Care Nursing (AACN) Lingkungan kerja yang sehat dipengaruhi oleh beberapa kategori, yaitu: kemampuan berkomunikasi yang baik, kerjasama/kolaborasi yang sesungguhnya, pengambilan keputusan yang tepat, pengaturan ketenagaan yang memadai, saling mengakui dan menghargai antar staff, serta kepemimpinan yang handal.
Sudah bukan sesuatu yang baru ketika komunikasi adalah kunci jawaban paling ampuh dalam sebuah hubungan interpersonal, dalam komunikasi terkirim sebuah pesan dan diterimanya pesan timbale balik. Komunikasi dianggap sebagai “senjata” paling ampuh yang dimiliki oleh seorang perawat. Baik dalam hubungannya dengan pasien, atau selebihnya hubungan dalam sebuah tim.
Yang akan lebih saya soroti disini adalah variable ke 6, yaitu saling mengakui dan menghargai antar staff, professor J, seorang guru besar keperawatan di sekolahku mengatakan bahwa. Aspek ini sangat penting dan merupakan aspek dasar dalam sebuah hubungan. Hubungan tanpa adanya saling menghargai akan menganggap yang lain superior dan yang lainnya inferior menjadikan hubungan dilingkungan kerja tidak sehat. Baik hubungannya dengan antar profesi atau sesame profesi sendiri.
Saling mengakui dan menghargai sesame profesi perawat saya pandang sebagai sebuah hal yang sangat-sangat penting. Aspek ini harusnya sudah ditanamkan secara berulang-ulang dan benar-benar menjadi consent dalam keperawatan. Fenomena yang ada selama ini adalah, belum adanya saling mengakui, menghargai dan berjalan seirama. Masing-masing menggunakan egonya sendiri, masing-masing menganggap bahwa dirinya paling benar dan paling mampu. Sebagai contoh simple sebagai embrio rasa tidak mengakui sesame profesi adalah ketika sesama mahasiswa yang sedang praktik klinik di rumah sakit dan bertemu dengan mahasiswa dari institusi lain. Bukannya mereka duduk bersama dan berdiskusi merencanakan sebuah pengembangan bersama, yang ada adalah saling menggunjing, saling menjelek-jelekkan institusi yang lain, memandang bahwa intitusi lain begini lah, institusi itu begitu lah dan sebagainya. Tanpa adanya rasa saling memiliki profesi bersama, memiliki tanggung jawab bersama mengembangkan profesi keperawatan ini.
Karena hal tersebut sudah menjadi kultur yang terus menerus dihembuskan oleh generasi pendahulu hingga generasiku, dan kenyataan dilapanganpun tak jauh berbeda dengan yang terjadi semasa menjadi mahasiswa. Bahkan dalam structural dan organisasi pemerintahpun walaupun katanya profesinya perawat masih saja terkotak-kotak tanpa adanya keselarasan pandangan.
Ambil saja contoh, jenjang pendidikan keperawatan di Indonesia yang masih terpecah belah dan susah disatukan karena memiliki pandangan masing-masing. Pendidikan dibawah kementrian kesehatan yang di formulasikan hingga pendidikan D-IV keperawatan semakin menjadikan profesi keperawatan semakin tidak focus. Pendidikan dibawah kementrian dikti diawali dari jenjang sarjana hingga pascasarjana. Hal ini contoh real yang bagi siapa saja kadang menutup mata dan telinga untuk membahasnya karena masing-masing memiliki kepentingannya sendiri-sendiri.
Lagi-lagi ketika sharing dengan professor dikampusku saat ini, pada awalnya aku menggali informasi system pendidikan di Portugal, ada berapa banyak pendidikan tinggi keperawatan di Portugal dan sabagainya, dan mengalirlah obrolan kami. Hingga sampai pada pertanyaan beliau mengenai Indonesia. Pertanyaan beliau sangat spesifik dan simple, “dengan adanya multi level pendidikan, mulai dari Diploma, dan sarjana apakah dilapangan ada perbedaan tanggung jawab?”
Aku hanya tersenyum dan mencoba menjawab secara diplomatis. Kemudian beliau mulai menceritakan bahwa 15 tahun silam, di Portugal juga memiliki masalah yang sama. Dengan banyaknya macam pendidikan keperawatan dan level jenjang pendidikan. Namun, kemudian perawat-perawat di Portugal duduk bersama, saling membuka hati dan pikiran bersama-sama bahwa perlu adanya pembenahan. Hingga kemudian dirumuskan adanya kesepakatan bersama dan menjadi panduan bersama bahwa pendidikan keperawatan di Portugal diawali dengan sarjana keperawatan yang ditempuh selama 4 tahun. Semua pendidikan tinggi memiliki system yang sama dan berada dibawah kementrian pendidikan. Hingga sekarang mereka mampu mengatakan bahwa hampir semua lulusan dari setiap institusi pendidikan memiliki kompetensi yang sama.
Mengenai tanggung jawab dan kompetensi, sesungguhnya akupun pernah mendengar adanya perbedaan dan sudah dirumuskan jauh-jauh hari sebelumnya. Namun kenyataan dilapangan memang jauh panggang dari api. Semua berjalan seperti apa adanya, seperti kultur dan kebiasaan yang sudah ada dari ratusan tahun sebelumnya.
Berkaca dari Negara Portugal dan mungkin Negara-negara yang lain. Mampukah para petinggi-petinggi keperawatan di Indonesia, baik yang ada di kementrian kesehatan atau kementrian pendidikan duduk bersama dan saling membuka hati dan pikiran untuk mendapatkan jalan keluar secara bersama?
Memulai langkah baru memang kadang tidak mudah, kadang membutuhkan effort yang cukup kuat untuk membuang jauh-jauh kepentingan pribadi, mengesampingan bisnis dan kebutuhan dapur. Namun demi kemajuan profesi keperawatan di Indonesia, alangkah mulianya jika pengalaman di Negara Portugal bisa menjadi referensi untuk Indonesia. Dengan begitu buruknya system kerjasama didalam profesi keperawatan sendiri menurutku menjadikan profesi lain bertepuk tangan dan tersenyum “menghina”.
Bagaimana mereka akan menerima kita sebagai mitra jika dari dalam profesi sendiri kita masih saling bertengkar, saling “jotakan” belum ada kesepahaman bersama. Apakah teori kolaborasi dan kemitraan hanya akan berdengung di dalam teori dan pelajaran kampus saja namun jauh dari kenyataan di lapangan??
Ada beberapa hal yang tentunya mampu dilakukan sejak dini untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat, khususnya saling menghargai dan mengakui antar sesame profesi.
Pertama, sejak awal seorang calon perawat harus sudah ditanamkan dan diajarkan secara mendalam dan berulang-ulang. Tanamkan dalam pikiran dan tingkahlaku mereka bahwa menghargai sesame perawat adalah hal yang paling penting. Jangan memandang mereka dari institusi mana, namun yang namanya perawat, kita bisa bersatu tanpa ada embel2 nama institusi pendidikan.
Kedua, role model dan contoh para petinggi-petinggi di keperawatan harus mampu memberikan gambaran bagaimana sesama perawat menghargai dan mengakui antar sesamanya, sesame institusinya. Dengan kesungguhan hati mampu membuka diri dan membagi ilmunya untuk bersama.
Ketiga adalah mencoba mengaaplikasikan apa yang sudah dipelajari dengan sebaik-baiknya, bekerja dengan sepenuh hati dan menjadi bagian dari system kerja secara seimbang dan professional.
Keempat, membawa pemahaman saling menghargai dan mengakui sesame profesi perawat kedalam dunia pekerjaan. Jangan mudah bertengkar sesame perawat sendiri, saling bekerjasamalah, saling menjaga dan berkomunikasi yang baik. Jangan sampai mengkambinghitamkan sesame perawat atau bahkan menjatuhkan nama baik sesame profesi.
Keempat hal tersebut yang saya rasa bisa dijadikan permulaan dari dalam diri sendiri dan sesame profesi untuk saling mengakui dan menghargai. Setelah itu baru diaplikasikan ke profesi lain dalam sebuah tim.

Kamis, 08 November 2012

3 P bersama Prof J

Kuliah dikelas bersama dengan seorang Profesor membuatku semakin mudah mengantuk...sumpah dech. Namun sungguh aku tahan sekuat tenaga karena Profesor ini begitu baik, begitu sabar dan telaten dengan mahasiswanya. Aku gak enak kalau nantinya dikira gak menghargai. Tapi rasa kantuk semakin menyerang ketika kelas baru berjalan 1,5 jam…masih 1 jam lagi, masih panjang..dan gubrak…!!! aku baru sadar kalau ternyata aku menjatuhkan buku dan pensil yang aku pegang untuk nulis. Semua melihatku, wajahku memerah…dan semua tertawa.
--- Professor J namanya, beliau begitu ramah, selalu menyapa semua mahasiswa dan berjabatan tangan denganku. Selalu menanyakan kabar dengan senyumannya yang hangat. Walaupun sudah “sepuh” namun beliau mengatakan bahwa belum pengen di pensiun, masih ingin mengabdi untuk berbagi ilmu. Kalau pensiun dan tinggal dirumah tanpa aktivitas, katane malah bikin stress dan depresi. Bener juga… Beliau kemudian menceritakan bagaimana kisah perjalanannya menjadi dosen, ketika sudah 23 tahun menjadi perawat di RS, kemudian beliau memutuskan untuk melanjutkan studinya hingga tingkat doctoral.
Beliau mengatakan, dalam hal mengajar, seorang dosen dibagi menjadi tiga kelompok, 3P katanya. Kelompok pertama di sebut dengan Pure lecturer. Kelompok ini biasanya kelompok dosen-dosen baru yang mengajar 1- 5 tahun, mereka akan focus pada bagaimana dia berbicara dengan baik, bagaimana mengelola kelas dan focus pada pencapaian karier dan pendidikan yang lebih tinggi. Dia akan lebih “mendikte” dan penjabaran sekenanya.
Kelompok kedua adalah Professional lecturer, kelompok ini diisi oleh dosen-dosen yang lebih pengalaman mengajarnya lebih lama, yaitu 5-10 tahun. Mereka akan terbiasa menjadi perfectionist, mengevalusi hasil ujian dengan seksama dan tanpa ampun. Mereka berfokus pada pencapaian mahasiswanya. Karena dikelompok ini dosen-dosen sudah memiliki karier dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Kelompok ke-3 adalah Poet Lecture..kelompok professor dan guru besar. Kelompok seperfi Prof. J mungkin. Hehe. Kemampuan mengelola kelas tidak diragukan lagi, kemampuan berargumentasi dan menjelaskan pandangan-pandangannya tidak bisa dibendung, semua tumpah ruah, mengalir begitu derasnya…hingga mahasiswa yang mendengarnya bagaikan mendengar sebuah sebuah puisi…
--- Ternyata beliau menyadari kalau kelasnya kadang membuat mengantuk. Hingga beliau memutuskan untuk memberikan setumpuk bacaan buat kami. Setelah dibagi menjadi 6 kelompok, setiap kelompok harus menganalisa dan memahami setiap topic yang beliau arahkan. Syukur dech…membaca paper dan jurnal membuatku lebih tidak mengantuk…karena bisa sambil ngobrol.. dan makan biscuit.

Rabu, 07 November 2012

Kuliahku dulu dan sekarang…

Yang ada dalam bayangan adalah perkuliahan seperti saat dulu di bangku s1, datang, mendengarkan dosen ngomong, tanya jawab kalau ada waktu, atau karena mahasiswanya begitu banyak jadi aku bisa tidur2an di bangku paling belakang, nitip absen, dll. Namun katanya sekarang sistemnya sudah berubah. Mahasiswa lebih diarahkan untuk belajar mandiri, dosen hanya memberikan supervisi dan bimbingan saja. Semoga sebuah kemajuan dan dilaksanakan dengan baik.
Perkuliahan memang membutuhkan banyak konsentrasi dan pemikiran tingkat tinggi (bahasaku agak di lebay2-kan!), karena kalau hanya dilakukan dengan sambil lalu tentunya hanya menghasilkan sisa buangan tanpa ada yang mengendap untuk disintesis suatu hari nantinya.
Dulu waktu kuliah s1, banyak dijejali tugas2 dan banyaknya perkuliahan kelas membuatku hanya berkutat di kost2an, kampus, masjid (kadang2), dan organisasi kecil2an (maklum…gak lihai dalam dunia persilatan organisasi intra atau ekstra kampus!). Selebihnya digunakan untuk mencari hiburan seadanya, belajar seadanya, dan mengaji bersama (seadanya gak ya??? Gak lah…).
Itu sudah berlalu enam atau tujuh tahun lalu, dan kini ketika aku memutuskan lagi untuk melangkah ke dunia pendidikan, menjadi mahasiswa lagi, ada sebersit rasa berat untuk melangkah. Ketika terbayang nantinya akan dibebani banyak tugas, akan di berikan ceramah-ceramah dikelas (yang selalu membuatku ngantuk!), dan hal2 formalitas sekolah lainnya.
Masa-masa kebebasanku ketika bekerja aku rasakan berlalu begitu cepatnya, bangun pagi, sarapan, kerja, pulang, tidur, bangun dan kerja lagi. Begitulah rutinitas sebagai pekerja, tanpa ada beban belajar, beban mencapai sesuatu yang lebih tinggi. Sebuah zona nyaman kurasakan….
Keputusan yang aku ambil, bukan sebuah jalan yang salah. Keluar dari zona nyaman sudah di publikasikan sebagai langkah terbaik untuk mencapai cita-cita dan keinginan. Namun bayangan akan sebuah rutinitas tulis menulis, membuat makalah, presentasi dan lain sebagainya seakan kembali menggelayuti kakiku untuk melangkah. Apalagi ketika sharing dengan seorang teman yang baru lulus ambil s2 (master) di Australia yang katanya s2 disana kreditnya sebanyak 72 kredit sudah bikin kelabakan dan berpusing-pusing ria. Nah programku, sama2 s2, sama2 satu setengah tahun…lha kok bebannya 90 kredit! Cukup berat kata temenku.
Sekiyan lama berkutat di dunia pekerjaan, sudah tidak pernah lagi memikirkan yang namanya methodology penelitian, aturan2 baku penulisan ilmiah dan proses-proses pembuatan laporan yang lain. Sungguh sulit diawal-awal ketika otak ini terbiasa dengan kenyamannya, kemudian dipompa lagi untuk berusaha berfikir dan menganalisa. Bismillah….pasti bisa.
Kembali ke system pendidikan yang dulu aku alami dan sekarang aku jalani. Ternyata tidak sepenuhnya seperti yang aku bayangkan. Tugas-tugas memang banyak, ada ceramah dikelas, diskusi dan belajar mandiri. Dari 90 beban kredit yang harus dicapai, prosentase terbanyak adalah belajar mandiri. Mungkin begitulah esensi yang ada, mahasiswa dituntut untuk belajar mandiri dan lebih focus.
Bicara lain mengenai mahasiswa di sini, sejauh pengamatanku mereka memiliki pola belajar yang tidak sama dengan mahasiswa Indonesia. Walaupun mengenai belajar kuliah, dikelas, tugas-tugas hampir sama. Namun yang aku soroti disini adalah kegiatan keorganisasian atau ekstrakulikuler yang mereka punya.
Kebetulan aku diasrama sekamar dengan seorang mahasiswa S1 pertanian asal afrika, aku bisa mengamati kebiasaan dia sehari-hari dalam perkuliahaannya. Kebiasaan party dan mengadakan kegiatan dimalam hari sampai pulang larut adalah rutinitas mereka. Pulang dini hari, jam 3 atau 5 pagi. Ketika aku bangun untuk sholat, mereka datang langsung tidur dan bangun lagi jam 9 atau 10, langsung berangkat kuliah. Kok gak ngantuk ya?? Ternyata mereka rajin kuliah, kalau telat bakalan lari-lari menuju kampus, walaupun kadang tidak mandi, namun mereka pasti berusaha datang ke kampus. Terus kapan mereka belajarnya? Mereka kalau belajar ya benar-benar belajar, masih menceritakan teman sekamarku. Walaupun kegiatan party pulang larut atau bahkan kadang tidak pulang berhari-hari. Namun kalau dia lagi belajar, dia akan dikamar, membaca, konsentrasi dan selanjutnya ya pergi lagi!!
Kultur perkuliahan di Indonesia memang beda karena adat istiadat dan agama mengajarkan hal yang berbeda. Menjadi mahasiswa internasional membawaku menjadi lebih tahu pola hidup, kebiasaan, dan perspective lain mengenai pendidikan dari multicultural ini.

Selasa, 06 November 2012

Traveling Addictive 2 - Obidos…the historical were disappears

Aku terpana melihatnya, ketika menginjakkan kaki keluar dari Bus Tejo yang membawaku ke area wisata kota tua bernama Obidos. Terletak di Pousada do Castelo atau Oeste Subregion bagian dari Estramedura region yang merupakan historical province of Portugal. Mengunjungi Obidos adalah program International Weeks yang diakan oleh kampus tempatku belajar. Bersama-sama dengan semua mahasiswa internasional dari berbagai Negara kami dibawa kesana.
Walaupun tidak ditemani oleh tour guide namun, aku mencoba menangkap sinyal-sinyal yang ingin disampaikan dari landscape kota ini. Sebuah kota kecil dikelilingi oleh benteng pertahanan. Sejarah mengatakan bahwa kota ini dibangun oleh bangsa Moor setelah mengalahkan kekaisaran Romawie pada abad ke-5 (http://en.wikipedia.org/wiki/%C3%93bidos,_Portugal). Namun pada tahun 1148 Raja Portugal pertama yang bernama Afonso Henrique mengerahkan pasukannya, dibawah pimpinan Gonçalo Mendes da Maia bangsa Moor dikalahkan dan Obidos diambil alih oleh mereka.
Memasuki gerbang kota Obidos hanya ada satu pintu, pintu gerbang tampak sangat kokoh dengan lengkungan khas peradaban arab. Kota ini sekarang benar-benar menjadi kota turis dan tempat wisata, bahkan bisa dikatakan desa wisata. Rumah-rumah didalamnya sudah disulap menjadi tempat menjajakan aneka macam miniature dan oleh-oleh khas Portugal ataupun Obidos. Jalan masuk utama langsung menuju ke puncak menara yang sudah disulap menjadi lonceng tower. Namun bentuk lengkungan khas kubah masjid masih Nampak jelas disana, hanya saja diatas lengkungan kubah tersebut sudah di tambahkan salib. Aku membayangkan dulu sekitar abad 6, setiap sore adzan dikumandangkan dari atas menara tersebut dan anak-anak kecil berlarian dijalan utama ini menuju masjid untuk mengaji dan sholat. Kucoba mendekati dinding benteng yang kokoh itu, kusentuh perlahan bongkahan batu kasar itu. Bongkahan batu sayang sama sejak tahun pertama diletakkan hingga sekarang. Bongkahan batu yang menjadi saksi bisu sebuah peradaban berganti, batu yang menyaksikan setiap detik waktu berganti dan begitu banyaknya kepentingan-kepentingan didalamnya. Andai engkau dapat bercerita..tak cukup ratusan buku menulis setiap kata darimu..
Benteng masih tampak berdiri dengan kokohnya, menapaki tangga-tangga menuju puncak benteng berasa kembali kejaman dulu ketika bangsa Moor masih berkuasa dan tempat ini menjadi pusat aktivitas penduduknya. Benteng ini yang melindungi mereka dari serangan musuh, melindungi mereka dari hawa dingin diakhir tahun.
Melewati hari di Obidos hanya dihabiskan dengan berfoto dan makan siang, tidak ada penjelasan sejarah sedikitpun dari orang asli yang tinggal disini maupun dari tulisan-tulisan yang ditinggalkan. Mungkinkah semua sudah dihapus hingga tidak ada yang bisa mendetesinya lagi. Mungkin… Yang kutemukan disana adalah sebuah gereja dengan yang dibangun di tengah2 kota, dibangun tahun 1182. 34 tahun setelah kota ini dikuasai oleh Raja Afonso. Dan kenyataan sekarang ditulis disana bahwa Obidos dibangun sebagai Vila khusus putri Portugal, yang dibangun sekitar tahun 1384. Kenyataan yang sengaja ditutupi untuk menyembunyikan realita sebenarnya atau dengan kesengajaan agar sejarah tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya.
Obidos…sejarah yang hilang, atau sengaja dihilangkan? Begitulah yang kurasakan. Tak kuasa menahan keingintahuan, kucoba mencari jawaban di google. Pada awalnya kusearching peradaban islam di Portugal, namun disana muncul beberapa tampilan gambar Obidos dan Alhambra. Sungguh tak terduga bahwa landscape kedua tempat ini bercirikhas sama. Hanya saja karena Alhambra merupakan pusat kerajaan kekhalifahan Bani Umayah jadi ukurannya lebih besar dan lebih megah dan didalamnya masih dijaga keasliannya.
Melewati hari-hari di Portugal menjadikanku semakin yakin bahwa dulunya Negara ini merupakan sebuah peradaban islam yang sangat maju. Dengan banyaknya peninggalan ditiap sudut kota, walaupun “mereka” berusaha menutupinya dengan berbagai macam cerita dan tulisan ataupun historical yang mungkin diciptakan dengan sengaja. Namun hati kecilku masih tetap yakin dengan tampilan fisik dan cisi khas yang Nampak dari peninggalan-peninggalan kejayaan Islam.
Masih teringat dengan jelas ketika pertama diadakan City Tour dan kami sebagai mahasiswa Internasional di berikan penjelasan oleh tour guide. Si mbak-mbak tour guide hanya menjelaskan sejarah Portugal sejak abad ke 15an saja. Tanpa pernah menyinggung mengenai sejarah diabad-abad sebelumnya.
Hari sudah hampir senja, ketika kami satu rombongan melangkah keluar menuju parkiran Tejo Bus yang dengan setia menunggu kami. Tak ingin rasanya beranjak dari atas benteng memandang jauh kebawah yang menawarkan indahnya lahan hijau dan suburnya pertanian di sekitar Obidos..dan mereka dahulu menjadi sakti bahwa Obidos menyimpan cerita yang tak bisa mereka lupakan…

Senin, 05 November 2012

Experiences - Health System

“Klik2…” Sebuah short message masuk.. “Bagaimana kabarnya? Ada update ilmu apa?” Kubaca berkali-kali sms itu, kumencoba memberanikan diri untuk membalasnya walau mungkin tidak sepenuhnya menjawab pertanyaannya. Pertanyaan yang cukup sulit kurasakan.
“System kesehatan di Portugal (LN??) lebih teratur…”
Kukatakan demikian karena kita bisa berkaca pada diri kita sendiri di Indonesia. Semua orang sudah tahu dan tak bisa memungkiri bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia masih jauh dari kenyataan tertata dengan baik. Kesenjangan terjadi dimana-mana. Ada harga ada rupa. Ada uang layanan terbaik bisa di beli. Kalau gak ada uang, silahkan mencari tempat untuk dikuburkan. Bahasaku sangat sinis memang. Namun demikian adanya.
Kenyataan pahit yang pernah aku lihat didepan mata kepalaku sendiri, ketika seorang pasien dengan terpaksa mengambil jalan pintas, pulang paksa atas permintaan sendiri, dan minimal therapy, do not attempt resuscitation (DNAR). Padahal kondisi sepsis berat seperti yang dialami pasien tersebut, jika ada pelayanan yang maksimal akan dapat di lalui, dan crisis schok sepsis akan tertangani.
Kenyataan mengatakan lain, kondisi financial problem yang dialami dan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan menjadikan fakta bicara lain. Rujukan yang dialamatkan ke berbagai rumah sakit pemerintah daerah, yang seyogyanya bisa memberikan pelayanan gratis mengatakan bahwa tempatnya penuh, ataupun jika ada tempat, tidak memiliki vasilitas mechanical ventilation. Kenyataan pahit bagi kaum papa!
Fasilitas jamkesmas, askeskin, jamkesda, atau apalah namanya. Tidak membuktikan sebuah cara yang ampuh untuk memeratakan layanan kesehatan. Fasilitas tempat rujukan yang adapun sangat minimal dari sebutan standar. Ataupun jika ada yang standar, warga masih banyak yang belum tahu bagaimana memanfaatkan fasilitas yang ditawarkan itu. Warga lebih senang menyimpan lara-nya sendiri daripada membebani Negara, warga lebih suka menyimpan deritanya sendiri demi kesejahteraan Negara. Namun Negara begitu susah memahami warganya. Mungkin analisaku terlalu ekstrim, memang aku jadikan seperti itu supaya semua membuka mata.
Di Portugal, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia. Karena Portugal bukanlah Negara Eropa yang kaya dan makmur, krisis ekonomi yang melanda eropa menjadikan warganya prihatin dan mendukung pemerintah. Setidaknya demikian pengamatanku.
Di sebuah kota kecil Santarem misalnya. Santarem merupakan sebuah kota distrik dari Portugal. Memiliki pemerintah daerah sendiri. Mungkin bisa diibaratkan provinsi, namun karena kotanya yang kecil dan penduduknya yang sedikit, mungkin hal inilah yang menjadikan kemudahan dalam melakukan pengaturan.
Di Santarem ada sebuah RS Pemerintah yang berdiri kokoh, tinggi, besar. Layaknya RS Siloam Karawaci. Namun ini miliknya pemerintah. Ada beberapa rumah sakit swasta (privat) namun skala dan ukurannya lebih kecil.
Jadi, secara umum dapat disimpulkan seperti ini :
1. Perawat di mana2 underpaid…
Kata banyak temen, semoga tidak hanya sekedar menghibur hati. Gajinya adalah pahala. Yang nantinya akan diterima di surga. InsyaAlloh..
2. Ilmu sich itu-itu saja yang dipelajari
Hanya bagaimana ilmu itu dipelajari, diendapkan, dianalisa dan disintesis. Dengan hati yang bersih dan niat mulia. InsyaAlloh jadi ilmu yang bermanfaat. 3. Yang lebih diperhatikan adalah, bagaimana menggunakan ilmu ke praktek dan mempraktekkan ilmu. serta menjadikan hasil praktek menjadi ilmu
4. Harus berfikir keras menjembatani antara akademik-klinik-akademik
5. Dimana banyak hal yang mempengaruhi, spt expert opinion, pemegang kebijakan dan pengguna jasa. Semuanya terangkum dalam evidence base practice...hingga semuanya sejalan seirama...gak jalan sendiri2 dan punya dunianya masing-masing
6. Harus sama-sama membuka diri dan membuka hati…menerima dan ikhlas menjalankanya.

Sabtu, 03 November 2012

Traveling Addictive 1 - Train..

Setelah beberapa minggu melakukan perjalanan, ternyata traveling tuch ada effect addictive-nya. Jadi tidak heran jika Trinity banyak melakukan perjalanan. Karena menurutku seseorang yang sudah melakukan perjalanan sekali maka mereka ingin mengulangi dan mengulanginya lagi, mengeksplore berbagai tempat-tempat menarik lainnya. Mungkin pikiranku sama dengan pikiran mereka sang traveler addictive bahwa pengalaman hidup itu sebuah nilai yang sangat berharga dan tidak dapat di bayar dan dinilai dengan uang. Karena siapa saja bisa melakukan perjalanan dan bisa melihat sebuah tempat dari gambar-gambar yang ada, namun dengan mengunjunginya sendiri maka setiap orang mampu mendapatkan nilai atau sisi seni dari sudut pandang mereka sendiri, mampu menciptakan cerita-cerita mereka sendiri. Itulah yang saat ini kurasakan, aku jadi ketagihan buat jalan-jalan. Mumpung masih di Eropa, yang akses ke berbagai Negara schengen area dipermudah dengan schengen visa, free traveling. Membuatku semakin bersemangat buat mengabiskan seluruh wilajah…akan kujajah…!!!
Weekend kemarin aku sudah agendakan buat mendatangi pengajian yang diadalah persatuan pelajar Indonesia di Portugal (PPI Portugal). Pengajian yang katane jarang dilakukan ini akan dilakukan di Porto, sebuah kota pelajar dan kota pariwisata di bagian Utara Portugal. Perjalanan kesana harus ditempuh dengan kereta cepat, membutuhkan waktu sekitar 2,5 jam, dengan biaya 20 euro.
System kereta di Eropa khususnya di Portugal (yang aku tahu) memiliki operasional yang cukup bagus. Jadwal yang tertata rapi, sampai menit-menitnya. Dengan system online yang dengan mudah penumpang bisa mengecek jadwal dan harga, serta booking secara online.
Pertama kali datang dan naik kereta membuatku takjub (culture shock) mungkin. Sampai-sampai aku salah naik kereta, untunglah jalur yang aku naiki masih sama, hanya saja jenis keretanya berbeda. Jadi aku harus turun dan ganti kereta, itu saja. Pengalaman lain dalam kereta adalah, terkunci dalam kereta, padahal harus segera turun. Waktu itu, aku pulang jalan-jalan larut malam. Jadi dari Porto aku naik kereta cepat ke Lisbon dan harus turun di Santarem. Karena Santarem bukan pemberhentian terakhir, jadi kereta hanya akan berhenti sejenak dan akan berjalan lagi. Aku sudah mengecek ke petugas tiket jam berapa kira-kira kereta akan sampai di Santarem. Hal ini sangat membantu karena ketepatan jadwal mereka 95% dapat dipercaya. Jadi dengan mengetahui waktu sampai disuatu tempat tujuan, kita bisa memperkirakan kapan harus bangun (jika tertidur), atau bahkan ada temen yang menyalakan alarm. Kalau aku bisanya diperjalanan dekat susah tidur, takut kebablasan.
Nah, waktu itu waktu sudah menunjukkan jam yang dikatakan oleh petugas tiket. Dan dari notifikasi yang terdengar sayup-sayup daalam bahasa portugis yang susah aku mengerti, sepertinya dikatakan bahwa “kereta anda sudah sampai Santarem” , akupun bergegas menuju pintu keluar, namun alangkah malangnya nasibku. Pintu tidak bisa dibuka. Menuju pintu selanjutnya bakalan butuh waktu lama dan kereta akan segera jalan. Kucongkel berkali-kali namun tetap tidak bisa dibuka. “mosok aku harus ke Lisbon? Jam segini gak ada kereta lagi buat balek ke Santarem” pikirku. Dalam emergency time itu, kenapa aku tidak coba pintu sebelah? Dan segera aku buka…brak…dan terbuka..namun…tinggi banget jarak kereta ke rel-nya. Ah. Apa boleh buat…akupun loncat. Pas banget selesai loncat, kereta berjalan. Alhamdulillah….aku tidak terbawa ke Lisbon malam ini.
Satu hal lagi yang sangat menarik dari ketepatan jadwal kereta disini adalah kesalahan melihat jadwal dan mengakibatkan keterlambatan. Suatu kali, aku dan beberapa teman akan menghadiri acara makan-makan di Braga (sebuah kota di paling ujung Utara Portugal sebelum Guimares). Makan-makan kali ini sangat special, bukan karena gratisannya, namun denger-denger ada masakan khas Indonesia (Rawon..khas Madura!!??) dan walaupun jauh-jauh dari Santarem akupun datang demi merasakan masakan itu.
Kebiasaan orang Indonesia yang menyepelekan waktu keterlambatan dan lebih baik datang 1 menit sebelum atau lebih baik terlambat dari pada tidak datang ternyata berimbas disini. Jadwal kereta sudah aku cek semalam sebelumnya, dan akupun sampai distasiun 5 menit sebelum kereta berangkat. Namun seorang teman, dia masih dalam perjalanan. Katane bangun kesiangan. Kamipun terpaksa memaksanya supaya datang cepat (mungkin dia pikir karena tinggal dekat dengan stasiun jadi gak bakalan telat). Namun pas banget temen itu datang, dan kami berlari menuju line 8 (saat itu kami di pintu masuk line 1), pas sampai di line 8, si kereta melambai-lambaikan tangannya melenggang meninggalkan kami yang tersengal-sengal kehabisan nafas karena harus lari turun-naik tangga.
Itulah, betapa waktu ternyata sangat berharga. Ketinggalan sepersekian menit membuat kami harus menunggu 1 jam lagi untuk kereta tujuan yang sama. Kebiasaan kita yang sering menyepelekan keterlambatan, membuang-buang waktu yang seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik. Sekarang baru belajar, alangkah baiknya jika datang lebih awal, lebih baik menunggu diawal 10-15 menit dari pada ditinggal dan harus menunggu lebih lama. Atau mencoba menerapkan nilai-nilai “lebih baik tidak usah datang jika bakalan terlambat”
Sedikit perjalanan yang menyisakan beberapa hal konyol dan menyenangkan, tak terduga dan membuat ingin mengulanginya lagi dan lagi. Sudah kurencanakan liburan natal dan tahun baru, liburan paskah, libur summer dan tentunya weekend. Indahnya lukisan hidup, hanya kita sendiri yang mampu menciptakannya untuk diri kita sendiri, maka akan kuwarnai hidupku disaat ada kesempatan…
Selamat jalan-jalan para traveler…

Kendala Bahasa Lokal…

Tinggal di benua Eropa yang setiap Negara memiliki bahasa masing-masing walaupun bahasa inggris tetap digunakan sebagai bahasa internasional, namun kadang kala mereka enggan atau tidak mau menggunakan bahasa tersebut atau beberapa memang tidak bisa. Diantara mereka yang jading berbahasa inggris atau bahkan tidak bisa adalah para penjual/pedagang dipasar, penjaga supermarket dan beberapa supir taxi. Awal-awal tinggal di Portugal, ketika bekal bahasa asing yang aku punya hanya bahasa inggris, dan tidak tahu sama sekali mengenai bahasa Portugal. Beberapa kelucuan dan kendala bahasa kurasakan.
Pada dasarnya memang aku susah untuk mengingat kata/bahasa baru, sehingga sangat tidak mudah untuk menghapal vocabulary baru yang diajarkan di kelas bahasa Portugis. Kelas bahasa yang hanya dua minggu kurasakan hanya sebagai hiburan saja, tidak ada yang nyantol sedikitpun, kalau disuruh mengingat, aku ingat apa yang sudah diajarkan, namun aku lupa sama sekali apa isi pelajarannya karena tidak bisa mengulang apa yang diajarkan alias lupa kata-katanya. Misalnya diajarkan bagaimana menanyakan tempat tujuan, menanyakan waktu, berkenalan, memperkenalkan diri, saat belanja, saat di rumah sakit, dan beberapa kata simple lainnya. Jadi, ketika kelas bahasa portugis selesai, yang aku ingat hanya ucapan selamat pagi, selamat siang, selamat malam, apa kabar, permisi, dan…itu saja kayaknya.
Tidak mengherankan jika selama awal-awal tinggal di Portugal dimana beberapa warganya susah dan tidak mau menggunakan bahasa inggris menjadikanku sedikit mengalami kendala yang lucu. Sebenarnya orang-orangnya sangat ramah dan sangat membantu, namun ketika perbedaan bahasa tidak ada jalan keluar, maka pesan yang disampaikan kadang putus ditengah jalan, dan kelucuanpun terjadi.
Pertama datang, aku bersama teman naik taxi berdua. Kami sampaikan tujuan kami dengan menunjukkan tulisan dibuku catatan kecil dan spir taxipun menganggukkan kepala. Setelah berjalan beberapa lama dan sampailah pusat kota, temenku bilang “kayaknya aku turun disini saja dech, asramaku deket2 sini” dan akupun bilang ke sopir taxi…”stop…stop….” Dan sopir taxipun menghentikan laju mobilnya, namun dia langsung memberondong pertanyaan dalam bahasa portugis yang kami berdua tidak tahu artinya, kami berusaha ngomong dalam bahasa inggris tidak di pahami, apalagi ngomong dalam bahasa Indonesia…hihihi….
Setelah bersitegang lama, akhirnya aku baru tahu permasalahannya. Di portugis tidak biasa mungkin menghentikan seseorang sebelum tujuannya dan mengantarkan orang lainnya ketujuan aslinya. Aku mencoba menangkap ekspresi si sopir, mungkin dia bilang “ Lho…tadi kan tujuan kita ke residence A, kok baru di pusat kota sudah turun? Jadi mau bayar bagaimana?” dan ketika temenku turun. Si sopir mungkin bilang, “Bukan..ini bukan Residence A, kamu salah…kita masih jauh….” Dengan sisa tenagaku, aku mencoba bilang, “iya….kita ke residence A, dia turun disini karena dia tinggal disekitar sini….” Dan aku bilang “aku akan membayar semuanya..” baru dech tuch sopir berjalan, dan sebelumnya mencatat jumlah argo yang sudah keburu dimatikan olehnya. “jadi double bayar nech gwe….” Nasib….
Kejadian kedua adalah ketika belanja di supermarket, karena pada minggu-minggu pertama aku belum menemukan makanan halal. Jadinya tiap hari ya makan ikan. Pada suatu hari, kami mencoba mencari selingan. Udang atau yang lainnya. Karena penjaganya tokonya tidak bisa berbahasa inggris, jadinya kami menggunakan bahasa tubuh untuk menjelaskan apa yang kami cari. Pada awalnya kami menanyakan sesuatu, dia tidak mudeng, kami pake bahasa isyarat kalau kami mencari cumi-cumi, sama saja malah kami jadi tertawa terpingkal-pingkal karena temenku memperagakan cumi-cumi sambil gerak-gerak gitu….dan penjaganya tidak mudeng juga. Ach….lama-lama jadi gila juga nech…akhirnya kami nyerah dan beli Salmon saja…
Lama-lama aku mencoba mengamati ketika orang-orang portugis sedang berbicara, lawan biacaranya bisanya akan menjawab “(sim) Sing…atau (Nao) Naong..” dengan suara agak-agak sengau dari hidung, atau “Ta Ben….” Masih dengan suara sengau… dan akupun mempraktekkannya. Aku tahu arti “sim (sing)” itu iya, dan Nao (Naong…)” itu tidak. Jadi ketika petugas asrama mendekatiku ketika pagi-pagi aku sedang masak dan mengajakku berbicara dalam bahasa portugis, akupun cukup jawab, sing….atau naong….dan ta beng…. Dan pada awalnya membantu. Sepertinya tuch penjaga asrama seneng, melihat aku memahami apa yang dia bicarakan. Namun, pada dilama-lama kenapa dia jadi tampak marah gitu? Wah….gawat nech…kayaknya aku salah jawab. Dia mengulangi pertanyaan dan aku jawab “Sing….” Dia tanya…”Sing….???” Aku jawab… “emmmm Naong…” dia tanya “Naong……????” ….lah…ini dia ngemeng apaan ya. ….akhirnya aku nyerah dan kukatakan… ”I don’t understand what are you talking about….desculpa…” baru dech tuch penjaga asrama pergi..dan akupun bebas melanjutkan memasak…
Fatima, namanya begitu muslimah ya, namun dia orang portugis asli, ibu-ibu sekitar usia 45an, rambut tipis bergelombang, kurus namun terlihat lincah dan gesit. Kebiasaannya memakai celana jeans dan kaos you can see. Merokok adalah hobinya disela-sela menjaga asrama dan melayani para penghuni asrama. Selain juga hobi mengajariku ngomong bahasa portugis.
Hari itu hari minggu, ketika aku sedang masak bersama teman-teman, Fatima ikut nimbrung dan berusaha mengenalkan beberapa benda di dapur dalam bahasa portugis, namun sialnya aku yang kena arahan. Aku mencoba mengucapkan, dia bilang “Good…ta beng…” dan menciumku… kata selanjutnya dia masih membidikku, aku ucapkan lagi…dan dia cium aku lagi…hingga berkali-kali dia mengatakan bahwa aku bisa mengucapkan dengan benar dan dia menghadiahiku ciuman….wah…wah…wah….nasib..nasib…

Jumat, 02 November 2012

Menu Makan di LN

Beberapa hal yang aku persiapkan sebelum keberangkatan terkait tinggal lama di luar negeri adalah peralatan masak, makanan dan pakaian. Selain hal tersebut, tentunya aku persiapkan juga peralatan terkait kuliah yang akan aku jalani. Waktu itu ak bawa banyak sekali makanan, mungkin hampir setengah koperku isinya makanan. Temenku bilang, “takut kelaparan loe disana?”
Peralatan masak terspesial yang aku bawa dari Indonesia adalah “cobek” terbuat dari kayu yang dipakai untuk membuat sambel, tak lupa dengan “ulekan-nya” juga. Beberapa teman menganggap aku membawa sesuatu yang tidak penting dan aneh, tapi buatku alat itu sangat penting. Aku bisa membuat sambel kesukaanku, bisa dipakai untuk tatakan saat memotong-motong sayur atau daging. Pokoknya sangat berguna sekali. Bicara “ulekan” tak lupa membicarakan makanan di LN. Kebetulan aku tinggal di Portugal, hanya 6 bulan saja. Portugal masih berasa seperti di Jakarta saat-saat awal datang (bulan agustus-september) namun berjalan selanjutnya ikut-ikutan sedingin Negara Eropa yang lain.
Bulan agustus aku sampai di Portugal, masih harus banyak beradaptasi terkait makanan. Banyak hal yang kurasakan aneh dilidahku. Aku menyiasatinya dengan memasak sendiri. Beberapa bumbu yang aku bawa dari Indonesia sangat membantu dalam menjembatani perubahan dan mempermudah adaptasi (kultur shock-red).
Banyak bahan makanan yang pada awalnya kurasakan asing, tapi lama kelamaan ternyata sama saja. Semua tersedia bahan makanan seperti di Indonesia. Mau apa? Sebutkan saja. Pasti ketemu barangnya. Sebelum berangkat ke Portugal aku pikir nantinya bahan makanan akan berbeda hingga aku membawa banyak makanan, ternyata aku salah. Hanya saja, untuk umat muslim yang harus makan makanan halal, memang harus merelakan waktu dan euro pergi ke kota lain jika menginginkan ayam atau daging halal. Satu hal yang belum aku temukan adalah kecap seperti yang di Indonesia. Kecap yang aku temukan di Portugal tuch kecap asam-manis seperti kecap teriyaki…tapi lumayan enak juga untuk obat kangen.
Aku menyebutnya bahan makanan special, untuk mendapatkan makanan special tersebut (kebiasaan di Indonesia) misalnya aku yang tinggal di sebuah kota kecil, harus ke ibu kota (1 jam by train) untuk mendapatkan tahu, taoge, daging halal, dll. Kalau makanan yang laen bisa aku dapatkan di supermarket terdekat. Aku biasanya akan pergi buat belanja makanan special 2 minggu sekali atau 1 bulan sekali, jadi belanjanya banyak sekalian. Dan biasanya aku akan pergi ke ibu kota sekalian sholat jumat, jadi sekali mendayung makan banyak hal bisa didapatkan. InsyaAlloh dengan jarak yang cukup jauh, sholat jumatanku banyak pahalanya.hehehe..bismillah…
Menyiasati makanan yang kebanyakan non halal dan tidak tahu bagaimana cara memasaknya, aku lebih senang memasak dan membawa bekal kemanapun aku pergi. Ke sekolah, aku bawa bekal, jalan2pun bawa bekal. Pada awalnya aku belum menemukan dimana makanan halal bisa didapat, jadi hari-hari aku lalui dengan makan ikan dan ikan. Selalu ikan..! pagi, siang, makan bersama ikan. Ada sup salmon, ikan goreng, cumi goreng dan udang. Lama-lama bosen juga, dan Alhamdulillah Alloh mempertemukanku dengan sebuah tulisan halal di jajaran tumpukan ayam disebuah supermarket dekat asrama.
Tanpa pikir panjang dan tanpa melihat isinya, akupun langsung ngambil dua bungkus yang ternyata beratnya 2 kg. dalam pikiranku. “Alhamdulillah…akhirnya ntar malam aku akan makan paha ayam!” sudah kubayangkan iklan kecap bango dimana bintang iklannya masak semur ayam. Yuhuiii…yummy…!! Alangkah terkejutnya ketika aku sampai di asrama dan bersiap-siap masak ayam goreng. Setelah kubuka bungkusan itu, ternyata isinya ampela! Jadi aku beli 2 kg ampela. Yach…tak apalah, yang penting bagian dari ayam..dan ada label halalnya.
Malasah yang kadang aku temui adalah ketika jalan2, dan melebihi jam makan siang, akupun terpaksa harus jajan juga. Satu tips yang menurutku sangat bagus buat yang berhati-hati terhadap makanan non halal adalah jajanlah di warung makan orang Pakistan muslim yang menjual kebab, dan ada label halalnya. Namun hal ini kadang susah didapatkan, walaupun kebanyakan ditiap kota kebab sudah eksis namun kalau perut sudah lapar ya mana tahan buat muter-muter nyari tukang kebab dulu. Jadi, hal yang sering aku lakukan adalah mengunjungi warung india. Selain penjualnya yang orang india dan fasih bahasa inggris, mereka kebanyakan akan menyediakan makanan vegetarian karena mereka sendiri kebanyakan juga vegetarian. Bilang saja menu pilihan untuk vegetarian. Maka mereka akan sangat senang menunjukkan pilihan-pilihan bagi vegetarian person. Selain hal tersebut, dapat juga pergi ke toko china, biasanya mereka akan menyediakan masakan asia. Tapi hati-hati, kadang mereka masaknya pakai winyak babi atau wine. Kalau terpaksa di sekitar situ tidak ada warung halal, warung india, atau warung china, akupun masuk saja sambil lihat-lihat. Disitu pasti tersedia banyak sayuran, jadi aku biasa memesan nasi dan sayur saja. Dan minum jus atau susu.
Selain makanan, pakaian yang aku bawa ternyata juga jadi kebanyakan. Aku membawa batik kebanyakan dan tidak mungkin tiap hari aku memakai batik. Karena di LN lebih enak pakai kaos, kalau dingin tinggal dobel2 kaos, ditambah jaket beres. Gak harus setrika, gak harus rapi2. Simple kan? Sudah gitu kebanyakan kalau jalan-jalan dan melihat pakaian yang lucu2 dan harganya murah pasti aku jadi pengen membelinya. Pelajaran yang aku dapatkan disini adalah :
1. Terkait makanan, kalau mau membawa alat makanan seperti Tupperware, sangat membantu. Aku membawa beberapa Tupperware buat bekal, sangat bagus dan kualitasnya oke. Tapi sebenarnya alat masak sangat mudah didapatkan, apalagi sekarang disetiap penjuru kota besar sampai kota kecil dengan mudah didapatkan yang namanya chinas shopping yang menjual berbagai macam alat rumah tangga produksi china. Apa saja dapat dicari disitu, dan murah-murah…walaupun kadang 3 hari dipakai akan rusak…(dilebay2in dikit sich….).
2. Untuk yang paranoid terhadap makanan. Tidak usah khawatir dengan makanan halal. insyaAlloh bagi siapa saja yang menjalankan perintahNya, ada jalan untuk mendapatkan makanan halal.
3. Pakaian, sebaiknya gak perlu lah membawa sebanyak gambreng, pasti akan beli di sini. Bagi penerima beasiswa, tentunya 1 bulan pertama belum menerima beasiswa karena beasiswa biasanya akan turun ditengah bulan atau akhir bulan. Ya tidak apa-apa pakai saja pakaian seadanya, yang kita punya. Ntar kalau beasiswa sudah turun, baru dech beli pakaian. Ada temen yang diawal-awal bulan karena dia hanya membawa 3 pakaian formal, 3 pakaian non formal dan beberapa pakaian dalam. Jadi 1 passang pakaian seringnya dipakai 3-4 hari.