Senin, 18 Oktober 2010

Menjaga Stabilitas Emosi dan Motivasi

Dua tahun yang lalu, tepatnya pas bulan Ramadhan tahun 2008 saya melewatinya di sebuah rumah seorang non muslim, keluarga chiness mix jawa. Saya jadi seorang perawat home care. Sang suami yang aku rawat adalah seorang chiness dan istrinya yang begitu setia adalah asli jawa, bahkan ada keturunan darah keraton.

Saya gak akan bahas mengenai home care dan suka-dukanya menjadi perawat home care, cuman disini saya ingin mengingat kembali mengenai beberapa moment pembicaraan dan beberapa statemen yang kadang membuat aku mendapatkan sisi lain dari pola pikir-pola pikir yang luar biasa.

Bagaimana memandang proses kehidupan kadang kala kita dapatkan dari siapa saja, tak memandang usia, agama, suku dan budaya. Asalkan prinsip-prinsip itu tidak bertentangan dengan ajaran agama saya (Islam) saya menganggap pembelajaran yang sangat indah dan semoga menjadi bermanfaat buat pola pikir saya nantinya.

---------------------------

“Mas Bejo, orang jawa itu punya uang 10 juta sudahmerasa jadi orang terkaya di kampungnya. Bingung mau beli apa, pamer, dll. Beda dengan orang “keturunan”, misalnya sama-sama punya uang segitu mereka masih mengencangkan ikat pinggang, makan pake kecap doang, ibaratnya”.

“O gitu ya bu..” aku menerawang ke luar jendela, hujan rintik-rintik sore itu membawa pikiranku mensetujui statemen yang ibu ini utarakan. “Bener juga ..”, batinku.

Statemen yang lugas dan mengena itu diutarakan setelah aku menanyakan bagaimana si ibu yang seorang jawa tulen ini nikah sama orang keturunan, dan aku pikir si ibu pasti sudah mendalami sekali bagaimana prinsip dan pola hidup yang mengalir dalam darah mereka.

“Satu hal lagi mas Bejo, bapak itu memiliki keuletan yang luar biasa, bapak memuali dari kecil dan modal yang sedikit, tapi kemauannya luar biasa keras”
“Kalau gitu, ibu pasti bangga sekali jadi istri bapak”

Sang ibu ini hanya menjawab dengan senyuman.

Dan selanjutnya ibu itu pun mengenang kembali saat-saat mereka mulai berkeluarga, saat-saat sang suami hanya sebagai penjual barang kelontong kecil dengan modal yang pas-pasan. Sanak keluarga yang seakan melupakan mereka.

“Ya, itulah hidup mas Bejo, dengan keuletan dan ketelatenan bapak dalam bekerja, akhirnya menghasilkan ini semua”

“Wah, luar biasa bu ceritanya, saya jadi merinding mendengarnya…”

-------------------------------

Pembicaraan sore itupun harus diakhiri karena sebentar lagi adzan maghrib dan waktunya buka puasa sudah hampir tiba, sang ibu ditemani pembantunya menyiapkan makanan buat buka puasa. Walaupun mereka keluarga non muslim, namun mengetahui aku yang muslim yang sedang puasa, mereka sangat antusia untuk menghargaiku.

“Kata orang, siapa yang memberikan buka puasa kepada orang yang puasa kan akan dapat pahala yang sama” begitu kata si Ibu di sela-sela menyajikan makanan, sambil bercanda.

Aku hanya mengulum senyum, “Semoga…” batinku….

------------------------------------

Begitulah, aku menyebutnya sebagai kemampuan menjaga stabilitas emosi dan motivasi dengan baik. Dimana mereka tidak mengedepankan keinginan dan nafsu dunia dengan mengencangkan ikat pinggang. Kemampuan lain adalah stabilnya semangat akan pencapaian suatu hal. Ulet. Begitu orang jawa bilang.

Aku sebagai orang jawa tulen, kadang merasa getir sendiri merasakannya, bagaimana aku selalu termotivasi sebaliknya, saat ada walau edikit sudah bingung akan membelanjakannya. Walaupun angan dan cita-cita setinggi gunung, namun rasa malas seakan membelenggu hati hingga tiada yang terrealisasi.

Ah, sudahlah…

Terakhir, baru-baru ini aku tanyakan langsung ke seorang temen yang kebetulan asli chiness. Maklum aku kerja di lingkungan yang banyak orang-orang keturunan, jadi mudah saja menemukan dan kembali lagi mendalami pola pikir mereke.

“Ya, mungkin kalian kan asli sini, jadi merasa memiliki tanah sendiri, ya maklum saja sudah merasa nyaman dengan apa yang dimiliki” Kata dia.

“Sedangkan kami, sebagai warga pendatang, warga keturunan, harus berjuang sekuat tenaga untuk survive, mungkin itu nilai-nilai yang sejak jaman nenek moyang kami tanamkan kepada orang tua-orang tua kami dan akhirnya ya kayak mendarah daging menjadi prinsip hidup kami”

Aku kembali lagi terpaksa atau memang seharusnya menyetujui apa yang mereka paradigma-kan. Peribahasa yang selama ini aku pahami “mangan-ora mangan seng penting kumpul” seakan melelah dan menjadi kurang berarti, ketika dihadapkan dengan ketiadaan semangat akan hidup dalam peribahasa itu.

Yah, memang tidak mudah menjaga stabilitas emosi dan motivasi, kadang up kadang down. Tak terhitung saat tiada haluan...

“Bismillah....” Ikhlas....

Tidak ada komentar: