Minggu, 19 September 2010

Moment setelah Ramadhan


Hingar-bingar perayaan lebaran, aku menyebutnya hingar bingar perayaan lebaran. Kadang melebihi apa yang seharusnya orang maknai sebagai lebaran itu sendiri. Terus terang aku sendiri sampai saat ini belum menemukan hakekat yang sebenarnya apa itu lebaran.
Apakah dalam Alquran menyampaikan, apakah Nabi mengajarkan, ataukah hanya sekedar kultur di Indonesia saja? Bagaimana dengan di Negara-negara lain, apakah juga sama dengan hingar-bingarnya seperti di Indonesia.
Memaknai yang berlebihan, kadangkala yang aku temui adalah dimana lebaran dijadikan saat2 penghabisan. Menghabiskan banyak dana untuk menyelenggarakannya, menghabiskan tenaga untuk menjangkaunya dan menghabiskan waktu untuk melakukannya.
Hingar bingar moment lebaran telah merenggut arti suci satu bula sebelumnya, bulan yang seharusnya kita lebih menghargai, bulan yang seharusnya digunakan sebagai saat-saat terpenting untuk menempa diri, memperbaiki diri kadang kita malah melewatkannya tanpa banyak arti.
Justru malah setelah bulan ramadhan berakhir, dengan segala pembelaan, dengan segala argument dengan mengatakan “merayakan kemenangan”…
Memang kita menang? Menang apa? Puasa saja bolong-bolong, apalagi sholat…bolong melompong!!!
Malam-malam ramadhan dilewatkan layaknya malam-malam biasanya, tidak berkesan sama sekali.
Tidak ada amalan tambahan yang dilakukan, yang ada adalah, menggosip tetap jalan, ucapan kasar masih terdengar, gunjingan, umpatan, emosi…
Nah, apakah kita masih layak dikatakan sebagai pemenang? Layakkan kita merayakan dengan hingar bingar habis-habisan?
Moment lebaran selalu diidentikkan dengan silaturahmi, sampe semua orang berebutan minta ijin, ambil jatah cuti untuk pergi bersilaturahmi ke sanak keluarga, atau hanya sekedar menikmati liburan bersama keluarga. Hingga akhirnya semua kantor yang memberikan pelayanan kepada publik kelabakan karena banyak staf yang ijin tidak masuk. Sedangkan pelayanan harus tetap jalan. Ujung-ujungnya ya staf yang tidak ambil cuti karena rumahnya jauh atau staf yang memiliki pemikiran pulang dilain waktulah yang menjadi korban. Kerja di forsir, dimampat-mampatkan, menurutku “dipaksakan”. Akhirnya…banyak karyawab dilemburkan dan akhir-akhir ini aku dengar lagi banyak yang sakit tuch…
Ya, Allah…sungguh hamba minta maaf dan berilah pencerahMu, andai saja memang moment lebaran ini harus dirayakan seperti saat ini, namun ya Allah…hamba merasa belum berani untuk mengatakan bahwa hamba seorang “pemenang”. Karena hamba sadar, masih banyak puasa hamba yang hanya menahan dahaga dan lapar saja, masih banyak kesempatan ibadah sunah yang terlewatkan dan lebih-lebih lagi…ibadah wajib hambapun masih ada yang bolong.
Ya Allah, hamba hanya memohong keridhoanMu supaya hama masih bisa dipertemukan dengan ramadhan tahun depan, masih bisa merasakan nikmatnya bulan penuh berkah bulan suci ramadhan.
Semoga ramadhan tahun ini, tidak mengalahkan keafdholan silaturahmi hamba pada kedua orang tua hamba walaupun hanya bisa bertutur sapa melalui pesawat telpon.

Tidak ada komentar: