Senin, 08 April 2013

Clinical Practice

Setelah liburan 2 minggu (Semana Santa Holiday ++) akhirnya clinical practice di sebuah rumah sakit di pusat kota Asturias, Spain pun berlanjut. Kalau sebelumnya saya mendapatkan pengalaman banyak di general intensive care, saat ini saya mengajukan diri untuk mencari pengalaman di respiratory intensive care. Saya katakan mengajukan diri karena sebenarnya di unit ini memang tidak di jadwal untuk route clinical practice kali ini. Route sebenarnya adalah General Intensive Care Unit, Cardiac Intensive Care, dan Emergency Care Unit. Pada waktu itu kepikiran untuk mengambil respiratory intensive care unit karena dismester tiga nantinya pengen ambil simutation dibagian respiratory care.
Dan jadilah saya mendapat kesempatan untuk berpraktek di unit ini. Unit ini dinamakan Unit Silicosis. Silicosis sendiri merupakan sebuah penyakit paru-paru khas dari Asturias, menurut cerita dulunya terjadi lonjakan kasus silikosis yang cukup signifikan disini. Makanya, sebagai Teaching hospital, RS ini kemudian mendirikan sebuah institute silicosis. Silicosis sendiri merupakan sebuah penyakit paru-paru yang tanda dan gejalanya mirip dengan penyakit paru obstructive kronis (COPD). Hanya saja penyebabnya saja yang berbeda.
Mungkin karena jaman silicosis sudah terjadi dulu banget, jadinya unit ini sekarang hanya merawat pasien-pasien dengan COPD biasa yang non silicosis cases. Ya sudahlah..tidak apa-apa. Pikirku dalam hati.
Unit respiratory intensive care di institute silicosis didesign dengan ruangan kubikle, berbentuk box-box. Alias satu pasien-satu ruangan. Design intensive care yang aku sukai. Banyak pendapat mengatakan bahwa dengan design ini maka pencegahan infeksi nosokomial akan terkendali bahkan ada yang berpendapat bahwa dengan design seperti ini pelaksanaan tugas perawat terhadap pasien menjadi focus, bisa memaksimalkan patient centered care, menjaga privacy antar pasien dan memberikan ruang lebih bagi keluarga untuk berpartisipasi dalam perencanaan program perawatan maupun memaksimalkan dukungan keluarga.
Yap, walaupun banyak kelebihan dan kekurangannya, system kubikle ini sudah sering saya baca dan dalami ketika masih bekerja di sebuah RS ber akreditasi internasional dibilangan Bumi Serpong Damai Tangerang. Jadi design ini sudah tidak asing bagi saya. Saya tidak ingin membahas banyak mengenai system kubikle ini, karena ingin rasanya suatu saat menjabarkannya lebih gamblang dalam sebuah tulisan ilmiah, inginnya… Namun jika tidak kesampaian, semoga ada generasi yang tergerak untuk mendalaminya lebih focus.
Kembali ke kegiatan clinical practice, lagi-lagi para staf disini menerimaku dengan senyum ramah dan tangan terbuka. Terlepas karena saya mahasiswa internasional yang berasal dari “far-far away island” dibelahan bumi antah barantah. Namun aku merasakan eneergi yang berbeda ketika memasuki ruangan intensive care, ketika mulai menyapa mereka, ataupun ketika berpraktek bersama mereka.
Membandingkan ada kalanya dinilai negative, namun masih terngiang dikepala ketika dulu sekali mendapatkan kesempatan berpraktek di rumah sakit pusat rujukan di jawa tengah, ketika itu saya sedang menyelesaikan program sarjana keperawatan. Disaat deraan rasa ingin tahu yang berlebih, dan rasa penasaran dan juga kebingungan karena jembatan antara akademik dan klinik terasa dalam dan curam. Namun yang terjadi adalah kelelahan dan dianggap tambahan “sumber daya manusia”. Masih terngiang sekali di telinga ketika kami ber 5 serombongan kelompok tiga memasuki sebuah ruangan praktek. Dan ada seseorang nyeletuk “wah…banyak perbantuan..syukurlah, pas pasien banyak nech”. Gubrak…dalam hati sangat dongkol sekali. Kami ini lagi butuh banyak bimbingan, lagi butuh banyak input ilmu-ilmu yang bermanfaat, bukannya dianggap sebagai antek-antek yang bisa disuruh-suruh.
Jadi, mengambil contoh diatas bukan bermaksud untuk membandingkan, hanya sekedar ingin sharing apa yang saya rasakan selama menjalani clinical practice di belahan negara lain.
Ach, sudahlah. Itu masa lalu. Pastinya saat ini sudah berubah.
Kita kembali saja ke pengalaman clinical practice saya saat ini. Walaupun saya master student, dengan background pengalaman kerja diruang icu sebelumnya. Namun bukan hal yang aneh jika saya masih merasa wiga-wigi ketika memegang pasien. Maklum saja ini di konteks internasional, hubungan dua negara bisa pecah kalau saya melakukan kesalahan dalam praktek klinik ini. Halah..lebay…hehehe
Tidak seperti itu sebenarnya, ketika memasuki ruangan. Sebelumnya saya diterima oleh seorang head nurse, yang kemudian memberikan seragam untukku pakai sehari itu. Seragamnya tidak dibedain dengan seragam perawat-perawat maupun staf yang ada di situ. Semua sama tak ada bedanya.
Setelah itu saya dianter ke perawat yang akan menjadi guideku selama seharian. Karena saya tidak bisa bahasa local, jadilah saya dicarikan perawat yang bisa berbahasa inggris. Seperti biasanya. Perawat inilah yang akan mem-preceptor-i saya seharian penuh. Semua dilakukan dengan penuh senyum, jabat hangat, bahkan tak jarang yang cipika-cipiki, menanyakan nama, dari mana asalnya. Sambutan yang hangat sekali.
Disela-sela praktek tak jarang yang menanyakan “bagaimana hari ini? Suka? Seneng? “ dan pastinya aku jawab dengan senyum dan bilang sangat suka.
Preceptor yang akan menjadi guideku seharian penuh, aku rasakan sangat terlatih. Entah sudah ada pelatihan khusus sebelumnya atau belum, namun bagaimana mereka memposisikan disi terhadap mahasiswa yang sedang belajar sangat prosesional. Mereka akan tampak “sedih” atau “kecewa” jika seharian mahasiswanya tidak mendapatkan apa-apa. Mereka seakan menyiapkan diri. “wah, ada mahasiswa yang akan bersama saya, apa yang harus saya tularkan atau ajarkan hari ini ya?” jadi tak jarang jika mereka kemudian memberikan jurnal-jurnal bahan bacaan yang berkaitan dengan pasien, berkaitan dengan hal-hal yang kutanyakan, ataupun penjelasan setiap tindakan maupun perencanaan dalam satu shift ini.
Itulah, ketika clinical practice ini menjadi sebuah ladang pentransferan dan kaderisasi. Masih terngiang seorang perawat memberikan komentarnya mengenai “orienteer” yang di preceptorinya hari ini.
“Saya sedang bekerja dengan orienteer saya, dia adalah generasi perawat untuk berikutnya, maka menjadi tanggung jawab saya untuk mengajarkan hal-hal yang bermanfaat dan baik buat dia. Karena ketika dia mendapatkan manfaat maka dia akan menjadi perawat yang baik untuk melanjutkan profesi ini”
Ach…indahnya jika semua perawat pembimbing berkata seperti itu. Ketika di cetak dengan cara yang indah, dengan tangan-tangan yang professional, maka generasi selanjutnya akan berkelanjutan. Memperlakukan penerusnya dengan baik. Sesuai nilai kaderisasi. Bukan tambahan “SDM”

2 komentar:

Sri Rahayu_PADI mengatakan...

merinding saya pak.....bacanya.
Andai Preceptorship di negara kita berjalan....pasti luar biasa. Subhanallah

Goreng Ayam Marketing mengatakan...

* LETS JOIN AND FEEL SENSATION TO PLAY *

S128

S128 Live

S128.Net

Sabung Ayam

Sabung Ayam Bali

Sabung Ayam Online Terpercaya

* VISIT OUR SITE AT *

www.gorengayam.com


* ONLY HERE YOU CAN FEEL CONTINUOUS VICTORY *

http://gorengayammarketing.blogspot.com/a2018/09/5-realitas-menarik-mengenai-ayam.html